Senin, 11 Oktober 2010

Efesus 5: 15-17

oleh : Pdt. Bigman Sirait 

KALI ini kita akan membicarakan tentang waktu dan kejahatan. Seperti apa Alkitab membicarakan waktu dan perspektif jahat itu. Mengapa dunia tidak semakin baik, padahal semua orang berharap agar dunia ini makin hari makin baik?
Perspektif  waktu harus kita lihat dari berbagai sudut. Perspektif waktu harus kita pikirkan supaya kita tidak terperangkap di dalam hidup dan mengalami kekecewaan yang berlarut-larut, yang akhirnya di tengah kesempatan mengalami kesukaan, justru kita mendapat kedukaan. Itu  tidak boleh terjadi, karena di tengah kedukaan, justru kita harus mampu menangkap kesukaan, bukan sebaliknya.
            Efesus 5: 15-17 berkata: “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan”.
Lalu dalam kitab Kejadian 6: 5 tertulis: “Ketika dilihat Tuhan bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata…”.
            Sementara dalam kitab Wahyu 9: 20-21 digambarkan bagaimana manusia semakin hari semakin jahat, bukan semakin baik.
Maka, ada fakta bahwa sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa (dari Kejadian 3), maka kualitas hidup manusia terus menurun, bukan semakin meningkat. Kualitas hidup manusia semakin memburuk, bukannya semakin membaik. Dari waktu ke waktu manusia digulung di dalam seluruh kehidupan, sehingga kita terus melihat bagaimana dosa bertumbuh dan berkembang.
Dulu dosa sudah ada. Sekarang pun ada, tetapi cara memainkan dosa itu semakin mengerikan. Dulu, di dalam nilai-nilai, dosa itu memang dosa, dan manusia yang melanggar nilai-nilai itu dianggap telah melakukan dosa. Di masa kini, dosa itu bisa disebut bukan dosa, malah sebuah kebenaran. Ini namanya relativisme. Maka semakin hari, cara berpikir, dan cara menempatkan dosa itu semakin mengerikan. Sekarang orang sudah berani melawan Tuhan. Dan waktu dia melawan Tuhan dia justru merasa benar. Maka saat ini perjuangan orang Kristen makin berat. Tetapi kita harus berjuang karena Tuhan memanggil kita seperti domba di tengah serigala, dan jangan pernah takut.
Sekarang kita akan memikirkan waktu dan kejahatan di dalam realita hidup itu seperti apa? Yang pertama, hari-hari ini adalah hari-hari yang jahat. Itu kata Paulus kepada jemaat Efesus. Karena itu, masih kata Paulus, gunakanlah waktumu sebaik-baiknya karena hari-hari ini adalah jahat.
Apakah yang mau dikatakan Paulus? Apakah dia pesimis dan mau berkata kalau hari-hari ini tidak baik? Apakah Paulus mau mengatakan tidak ada nilai dalam hari?
Waktu Paulus berkata “hari-hari ini jahat”, dia mau mengacu kepada kehidupan di jaman akhir, menuju akhir jaman, yang memang jahat.
Alkitab menggambarkan, sepertinya iblis itu diberi sebuah kesempatan terakhir. Maka pada kesempatan terakhir dalam posisi terantai karena tidak lagi penuh kuasa, si iblis ingin mencelakakan banyak orang. Dia ingin menyesatkan manusia sebanyak-banyaknya. Maka waktu Paulus berkata bahwa waktu-waktu ini jahat, itu betul, sebab kita sekarang hidup di jaman  akhir menuju akhir jaman, di mana iblis bekerja lebih giat lagi untuk mencelakakan lebih banyak lagi manusia.
Doa Bapa kami
Dalam “Doa Bapa kami” antara lain dikatakan, “… jauhkanlah kami daripada yang jahat...” Itu bicara suatu semangat memasuki hidup yang memang makin jahat, supaya kita jangan jatuh. Maka “Doa Bapa kami” tidak boleh dilepaskan dari realita hidup jaman akhir menuju akhir jaman yang memang semakin jahat. Jadi, hari-hari kita makin sulit? Ya. Jaman makin berat? Ya. Tetapi itu tidak sama dengan hidup kita makin berat. Tidak sama dengan hidup kita makin bahaya. Kejahatan memang semakin meninggi, namun iman yang kuat, iman yang kokoh akan mengalahkannya.  Artinya kita akan mampu bertahan sekalipun jumlah orang jahat bertambah. Orang percaya mampu hidup di dalam iman percayanya kepada Tuhan. Ini pertarungan. 
            Jadi, hari-hari ini jahat, ini mau menunjukkan realita hidup bagaimana manusia makin hari makin jahat. Kecenderungannya makin hari makin jahat, bahkan sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Dalam pertumbuhan perkembangan manusia Alkitab mengatakan bahwa manusia itu kecenderungannya selalu berbuat dosa. Padahal jumlah manusia waktu itu belum banyak. Teknologi belum maju. Maka dosa tidak ada kaitannya dengan teknologi. Dosa adalah dosa. Teknologi hanyalah merupakan sebuah wadah, fasilitas untuk berbuat dosa, oleh orang yang ingin berbuat dosa.
Jadi, bukan teknologinya yang salah.  Pada dirinya, dosa itu yang merusak manusia. Karena itu teknologi di tangan orang Kristen mestinya aman. Tetapi teknologi di tangan orang jahat itu bisa menjadi mesin perang yang mengerikan. Dosa makin menjadi-jadi, dosa sudah membuat orang terus cenderung berbuat jahat. Itu sebab betapa tidak bisa dibayangkan jikalau hidup kita tanpa Tuhan, tanpa iman sungguh-sungguh kepada Tuhan.
            Tahun berapa kita hidup, itu tidak penting. Tetapi yang penting adalah kepada siapa kita beriman? Tahun demi tahun makin berat, ekonomi tidak menentu, keamanan semakin rawan. Silakan. Resesi bukan yang pertama kali, kalaupun terjadi. Dari dulu pun dunia  sudah bolak-balik dilanda resesi. Tetapi anak Tuhan harus menjadi saksi bagaimana dia lolos dari tengah kesulitan kehidupan. Maka mari bertarung. Hari-hari ini jahat, tetapi jangan membawa kita masuk ke dalam perangkap.

Yohanes 2: 12-25

Pdt. Bigman Sirait: Ketika Gereja pun Perlu Dijungkirbalikkan 

Usai menghadiri pesta nikah di Kana, Yesus pergi ke Kapernaum. Dari sana Dia berangkat lagi ke Yerusalem. Yesus pergi keYerusalem karena  ada perayaan Paskah (Yohanes 2: 12-25). Perayaan ini sangat penting bagi Israel,
mengenang keluarnya mereka dari Mesir menuju Tanah Perjanjian. Pada perayaan Paskah orang Israel mempersembahkan korban khusus, korban bakaran untuk memuliakan Tuhan. Itu sebabnya pada even-even seperti itu halaman Bait Allah penuh dengan pedagang domba, merpati, dan sebagainya, bahkan penukar uang.  
Mengapa mereka ada di situ, dan mengapa Yesus marah kepada mereka?  Mari kita lihat bagaimana terjadi praktek-praktek mengerikan di halaman Bait Allah. Yang pertama, kenapa ada pedagang hewan? Karena umat sangat  butuh itu untuk persembahan. Tetapi kenapa Yesus marah? Bukankah keberadaan mereka mempermudah umat?  Memang dalam satu  segi hal itu mempermudah, tetapi Yesus marah, karena pertama, mereka menghabiskan halaman bait, yang mestinya jadi tempat orang, malah menjadi tempat domba-domba.
Tetapi yang kedua, ada praktek jual-beli yang tidak baik. Setiap hewan yang dijual di halaman Bait Allah sudah dijamin “lulus” untuk dipersembahkan. Namun Yesus marah karena  hewan yang dijual di halaman Bait Allah harganya lebih mahal. Hewan yang dibeli dari pasar belum tentu “lulus” oleh para imam untuk dipersembahkan. Sehingga tanpa sadar umat pun digiring dan dipaksa untuk membeli hewan di halaman Bait Allah. Artinya, praktek bisnis gelap di dalam bait Allah sudah ada waktu itu, sebab bukan tidak mungkin ada kolusi antara pedagang dan para imam. Pedagang di halaman Bait Allah itu sudah dikenali para imam.
Orang-orang Kristen sering tampak bodoh jika menyangkut hal-hal yang rohani.  Dalam kaitan dengan hewan-hewan di halaman Bait Allah, orang-orang kaya pun tidak ada masalah untuk membeli, meski mahal. Jadi yang paling diuntungkan dalam hal ini adalah orang-orang kaya, yang tidak  mau repot-repot secara rohani. Dia mau gampang saja dalam beribadah. Dia tidak lagi mau memperhatikan ada yang salah dan perlu dikoreksi. Padahal orang kaya sebetulnya punya potensi untuk mengoreksi kesalahan gereja, atau praktek para imam pada waktu itu, mengingat orang kaya pasti punya pengaruh. Tetapi justru mereka malah terlibat kolusi dengan para imam.
Kenapa banyak penukar uang di sana? Karena banyak Yahudi diaspora. Waktu  perayaan Paskah mereka datang dari berbagai penjuru dunia untuk berkumpul di Bait Allah. Uang dari berbagai negeri pun dipertukarkan di sana, namun kursnya dipermainkan karena tingginya kebutuhan.  
Bisnis gereja
Bisnis yang tidak akan pernah bangkrut adalah “bisnis” gereja, karena selalu dibutuhkan. Setiap hari orang bikin dosa, jadi butuh penyucian. Punya banyak uang, orang bikin dosa. Tidak ada uang pun orang bikin dosa. Jadi gereja itu, “bisnis”nya bagus sekali, marketnya  makin luas. Makin banyak orang berdosa, makin banyak yang memerlukan pengampunan. Tapi di sinilah gereja bisa menjadi kolong kejahatan yang sangat mengerikan, sehingga perlu disucikan oleh Yesus yang suci. Gereja perlu dikoreksi dan dijungkirbalikkan.
Dalam topik ini diperlihatkan bahwa Yesus pun sebenarnya bisa bertindak radikal dan sangat tidak terbayangkan. IA yang suka mengelus-elus rambut anak kecil, yang peduli pada janda miskin, ternyata juga adalah Kristus yang menjungkirbalikkan semua.  
Dalam hal ini gereja salah, sebab umat hanya dibodoh-bodohi untuk memandang Yesus dari hanya satu segi, yaitu Yesus yang baik, penuh cinta kasih. Umat tidak pernah  diperhadapkan kepada Yesus yang bisa keras. Yesus akan murka ketika orang mempermainkan kesucian. Maka jangan main-main. Siapa yang percaya pada DIA, masuk sorga, yang tidak percaya masuk neraka. Janganlah memandang Yesus dari sisi baiknya saja, yang pasti mau memberi apa yang kita mau. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa kita harus memenuhi apa yang Dia kehendaki?
Selama ini posisi kita hanya meminta, dan Yesus harus mengabulkan. Ini kejahatan. Padahal, Yesus sudah memberikan nyawa-Nya. Mestinya sekarang giliran kita untuk melakukan apa yang Yesus mau: memberi makan orang miskin, memberi pakaian buat yang telanjang, dan memberitakan Injil. Itu yang Dia lakukan, dan menuntut kita untuk melakukan itu pula. Gereja baru gereja jika sudah melakukan seluruh panggilan yang digugat oleh Yesus. Gereja belum bisa disebut gereja bila tidak melakukan itu. Memang sulit, tetapi panggilan itu harus kita jawab, dan kita tidak bisa lari dari sana. Kekacauan terjadi di halaman Bait Allah karena ada manipulasi. Dan inilah yang mau dikoreksi Yesus.  
Ketika Yesus tiba di sana, IA marah dan mencambuk dagangan-dagangan dengan tali yang dilambangkan sebagai cemeti. Tali itu juga melambangkan penghakiman, di mana Ia sangat marah dan muncul sebagai hakim yang berkata, “Kalian adalah orang yang sangat berdosa, karena merusak rumah Bapa-Ku”. Yesus  bertindak  spektakuler untuk menunjukkan bahwa Dia punya wibawa, karena kesucian. Dia punya wibawa bukan karena punya uang. Dia punya wibawa bukan karena melakukan banyak mukjizat. Sekarang banyak orang kehilangan wibawa karena tidak lagi sungguh-sungguh melakukan kehendak Allah. Untuk itulah kita harus belajar supaya hidup kita terus diubah oleh kasih dan kuasa Roh Kudus, sehingga Dia tidak perlu menjungkirbalikkan kehidupan kita.  
Suci adalah melakukan apa yang Tuhan mau. Jangan terganggu atau terpengaruh orang lain. Jika yakin dan percaya itu kehendak Tuhan, lakukan, tanpa mau terganggu orang lain. Kita harus berani dan punya satu sikap. Dan itulah orang Kristen. Gereja berproses dari kumpulan orang yang cinta dan mau melayani Tuhan. Di situlah makin terbukti bahwa gereja itu adalah gereja, karena terjadi interaksi yang saling mengampuni, saling mengerti, membuat kita menjadi satu gereja yang utuh.

Yohanes 12: 20-22

oleh : Pdt. Bigman Sirait

Andreas adalah murid Yesus yang pertama. Itu jelas kita lihat dalam Injil Yohanes. Di Injil lain diceritakan bahwa yang dipanggil pertama itu seakan-akan dua orang sekaligus, yakni  Petrus dan Yohanes.
Hal ini karena melihat posisi Petrus  sebagai yang ditokohkan. Tetapi secara detil, dalam Yohanes kita bisa melihat bahwa Andreas adalah murid yang pertama.  Simon Petrus adalah kakak Andreas. Sebelum menjadi murid Yesus, Andreas adalah murid Yohanes. Simon Petrus, yang kemudian menjadi murid adalah hasil “pelayanan” Andreas.  
Pemanggilan murid yang pertama cukup menarik. Di sini, Yohanes memainkan peran yang sangat menarik, karena dalam tugasnya ia menceritakan siapa Yesus yang nanti akan melayani secara sejati, yakni Sang Mesias. Ketika melihat Yesus, Yohanes berkata kepada dua muridnya, “Lihatlah Anak Domba Allah”. Salah satu dari murid yang dimaksud itu adalah Andreas.  Pada waktu mengatakan  kalimat itu, Yohanes sudah me-mainkan peran sebagaimana mestinya untuk memberitakan, dan membuka jalan bagi Kristus, Yesus Tuhan.
Kemudian dalam ayat 38-39 disebutkan: “Tetapi Yesus  menoleh ke belakang. Ia melihat bahwa mereka mengikut Dia lalu berkata “Apa yang kamu cari?” Kata mereka kepada-Nya: “Rabbi di mana Kau tinggal?” Ia berkata kepada mereka “Marilah, dan kamu akan melihatnya.  Mereka pun dan melihat di mana Dia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama....”
Dalam  Injil Yohanes, pemanggilan itu agak unik. Kalau dalam Injil sinopsis Dia selalu berkata: “Mari ikutlah Aku”, jadi nada panggilan itu terasa sekali. Tetapi dalam Injil Yohanes ditunjukkan bagaimana Yesus memandang ke belakang dan bertanya: “Apa yang kamu cari?” Jadi, Yohanes menggambarkan pertemuan itu begitu detil, termasuk pada hari itu, mereka tinggal bersama-sama, dan waktu itu kira-kira pukul 4.
Sewaktu Yesus bertanya: “Apa yang kamu cari?” mereka balik bertanya, “Guru, di manakah Kau tinggal?” Dan tentu saja mereka bingung ketika ditanya: “Apa yang ka-mu cari?” Mereka tidak tahu apa yang mereka cari, mereka hanya tahu bahwa Dia ini adalah Anak Domba Allah, berdasarkan perkataan Yohanes Pembaptis, guru mereka.  Selanjutnya, Yesus berkata: “Marilah, kamu akan melihatnya.” Yesus mengikuti saja dialog itu. Namun ajakan itu tentu bukan sekadar mau jalan-jalan, tetapi bagaimana proses pemanggilan itu bergerak. Sesudah mereka tinggal di sana dalam waktu yang cukup panjang, maka jadilah Andreas murid yang pertama.
Dalam proses pemanggilan murid yang pertama ini kita bisa melihat beberapa hal yang penting. Pertama,  kita jadi memahami bahwa pemanggilan ini bukan sebuah penawaran diri. Bandingkan dengan ketika seorang ahli Taurat yang menawarkan diri kepada Yesus dan berkata, “Guru, aku mau ikut ke mana saja Kau pergi.” Dan Yesus menjawab, “Engkau tidak tahu apa yang kau minta. Serigala punya liang, burung punya sarang, tetapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya”.
Bukan penawaran diri
Pelayanan adalah sebuah kehormatan yang diberikan Tuhan Yesus. Karena itu sangat menyedihkan jika orang meninggalkan pelayanan. Pelayanan bukan suatu penawaran diri, atau hanya sekadar mengatakan, “Saya mau melayani Yesus”.
Sebuah ilustrasi. Seorang kaya-raya pernah berkata pada pendeta, “Saya merasa berdosa dan akan memberikan uang saya untuk membantu pelayanan ....” Perkataan itu salah, sebab kita tidak pernah bisa memberikan apa pun untuk membereskan  dosa dan kesalahan kita. Penebusan adalah kasih karunia, kemurahan Tuhan. Memberi itu soal kecil. Tuhan tidak akan berubah hanya karena kita memberi. Kalau kita boleh mengenal Tuhan, itu suatu anugerah. Karena itu, panggilan untuk melayani jangan dipermainkan, karena itu anugerah, panggilan Tuhan.
Panggilan adalah sesuatu yang harus jelas dalam kehidupan. Itu menjadi proses pembuktian tentang kualitas pelayanan. Panggilan itu menjadi efektif kalau orang itu sungguh-sungguh. Ada tertulis: “Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih.”
Semua orang bisa menjadi “murid” Yesus, tetapi apakah panggilan itu efektif, semua akan dilihat bagaimana buah kesetiaan kita dalam melayani Yesus. Panggilan menjadi efektif ketika kesetiaan itu muncul.  
Andreas adalah murid pertama, tetapi dia kalah terkenal dari Petrus atau Yoha-nes. Tetapi menarik karena justru dirinyalah murid yang pertama memberitakan Injil ke orang-orang non-Yahudi (Yohanes 12: 20-22). Dia memberitakan Injil kepada orang Yunani. Paulus nanti yang akan memperlebar wilayah pelayanan itu. Peran Andreas menjadi strategis dan penting dalam kehidupan gereja.  Andreas bukan saja yang per-tama mengikut Yesus, dan memberitahu Injil kepada orang non-Yahudi, tetapi juga sangat aktif mengajak orang-orang untuk melayani.
Andreas menjadi pekabar Injil dan penggerak yang sangat baik. Mobilisasi orang untuk datang kepada Kristus, dimulai dari kakaknya, Simon. Banyak kisah tentang tokoh yang begitu bersemangat memberitakan Injil. Dari generasi ke generasi orang bergerak karena Injil, dan digerakkan Injil. Sama seperti Andreas yang tergerak oleh Injil, dan digerakkan Injil itu membawa jiwa untuk datang kepada Tuhan. Ketika dia mengatakan, “Aku sudah menemukan Mesias”, dia telah menemukan kebenaran. Sewaktu berbicara dengan Yesus, berarti Andreas telah menemukan kebenaran sejati itu.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Markus 16:15

oleh : Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing

Tugas panggilan untuk memberitakan Injil ke segala makhluk adalah salah satu pilar identifikasi gereja yang hidup. Hal itu diungkapkan pada keempat penulis Injil yang memberikan kesimpulan akhir,bahwa Injil harus diberitakan ke seluruh dunia. Dalam Injil Matius, Yesus bersabda : “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat 28:19). Dalam Injil Markus dikatakan, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mark 16:15). Lukas menulis ucapan Yesus kepada para murid-Nya : “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun atas kamu, dan kamu akan menjadi murid-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (1:8). Selanjutnya Lukas juga menulis kesaksian Petrus yang mengatakan, “Sebab kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu banyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita” (Kis 2:39). Sementara dalam Injil Markus dinyatakan bahwa orang percaya dipanggil dan dipilih oleh Yesus Kristus sendiri. Merekalah yang menerima tugas panggilan “Supaya kamu pergi dan menghasilkan buah (Mark 15:16). Misi dan panggilan memberitakan Injil adalah nafas gereja. Artinya, tanda bahwa gereja hidup adalah ketika ia melaksanakan tugas panggilannya sebagai pemberita Injil. Apabila gereja tidak melaksanakan pekabaran Injil, maka gereja tersebut bukan gereja yang hidup dan benar. Gereja seperti itu hanya sebagai komunitas institusional perkumpulan sosial yang tidak berdasarkan Injil Kristus. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada tahun ini berupaya menggalakkan semangat pekabaran Injil tersebut melalui program Tahun Marturia dengan slogan Save One More/ Boan Sada Nari. Harus diakui, sebenarnya HKBP pada awal sejarah kehidupannya tekun melaksanakan pekabaran Injil tersebut. Ketika HKBP (Hoeria Batak) masih asuhan RMG atau VEM, HKBP sudah melaksanakan tugas pekabaran Injil melalui Punguan Misson Batak, yang sudah bediri sejak tahun 1899.
Sampai tahun 1970-an, pekabaran Injil melalui Departemen Zending HKBP merupakan pelayanan primadona di HKBP di samping Departemen Diakoni Sosial. Pada masa itu, pelayanan zending kepada suku Sakai, Rupat, Enggano dan Sengoi di Malaysia sangat maju dan memperoleh dukungan dari jemaat HKBP. Akan tetapi sejak tahun 1980-an sampai sekarang, beberapa lapangan penginjilan tersebut hanya tinggal “puing-puing” sejarah pekabaran Injil HKBP saja. PI di Sakai yang sudah bertahun-tahun dilayani dan menghabiskan daya dan dana yang tidak sedikit sama sekali tidak meninggalkan bekas apa-apa. Sampai tahun 1970-an, warga jemat selalu memberikan ucapan syukurnya kepada Tuhan dengan memberikan dukungan dana ke pos zending. Akan tetapi pada akhir-akhir ini, perhatian warga jemaat HKBP drastis sangat kurang. Kurangnya perhatian dan dukungan warga jemaat terhadap pelayanan zending ini disebabkan berbagai hal, yang perlu dievaluasi secara jujur dan terbuka.
Pencanangan Tahun Marturia 2008 dimaksudkan sebagai upaya menggalakkan pelayanan zending HKBP. Tahun Marturia 2008 dibuka dengan khotbah tahun barn berdasarkan Yoh 15:16. Sesuai dengan isi nas tersebut, HKBP memahami dirinya sebagai orang yang dipanggil dan dipilih “untuk pergi dan berbuah”. Panggilan dan pilihan Tuhan atas gereja dan orang percaya bukan untuk menjadikan gereja statis dan pasif, melainkan supaya bergerak, bekerja, pergi melayani untuk memberitakan Injil Kristus ke seluruh dunia dan kepada segala makhluk.
Pemahaman Hermeneutis
Tema Sinode Distrik ini didasarkan pada nats Markus 16:15, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk”. Sesuai dengan konteks penulisan Injil Markus, berita kebangkitan Yesus yang disusul dengan kenaikan-Nya ke sorga memotivasi jemaat perdana itu untuk semakin giat memberitakan Injil. Perikop terakhir dari Injil Markus ini, sama dengan Injil lainnya, tidak dimaksudkan sebagai penjelasan liturgis atau cara dan peraturan seseorang menjadi pengikut Kristus. Ayat 16 yang mengatakan “siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” tidak dimaksudkan sebagai prasyarat dan prosedur untuk menerima baptisan. Pesan Markus 16:15-16 adalah agar lebih giat mengabarkan Injil Kristus, sehingga orang berdosa yang belum mengenal Yesus Kristus percaya dan memperoleh keselamatan.
Pergilah ke seluruh dunia. “Arti ungkapan atau sebutan dunia lebih jelas di dalam Injil Yohanes. Dunia yang dimaksudkan bukankah dunia dalam arti geografis, melainkan memiliki arti kiasan tentang perilaku manusia yang menolak dan tidak percaya kepada Kristus. Kata dunia ditujukan kepada manusia berdosa yang tidak mau mengikut Kristus. Pada masa Yesus, dunia selalu dimaksudkan sebagai pelaku-pelaku kejahatan, yang memberontak kepada Allah dan yang tidak mau menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Dunia adalah lawan kata orang beriman, yang setia dan ingin jadi pengikut Kristus. Dunia membenci Yesus dan para pengikut-Nya (lih. Yoh 7:7). Oleh karena itu bagi dunia, kedatangan Kristus berarti penghakiman terhadap mereka (lih. Yoh 9:39; 12:31). Pada masa pelayanan-Nya, Yesus mengatakan misi murid menaklukkan dunia (lih. Yoh 16: 33) dan akan mengusir iblis – pangeran dunia (lih. Yoh 12:31; 14:30). Dalam rangka itulah Yesus pada akhir pelayanan-Nya di dunia mengutus para murid dan orang-orang percaya kepada-Nya untuk pergi ke seluruh dunia, ada orang jahat yang menolak Yesus Kristus. Kata jamak – seluruh – membuktikan banyaknya orang-orang jahat, pelaku-pelaku dosa yang harus diinjili. Sesuai dengan pengutusan Yesus tersebut, Injil juga harus diberitakan kepada mereka, agar mereka turut diselamatkan. Ini juga merupakan bukti kuat akan konsistensi keselamatan universal yang di bawa Yesus Kristus (band. Yoh 3:16). “Beritakanlah Injil kepada segala makhluk”. Keselamatan segala makhluk – sudah merupakan tekad dan inisiatif Allah sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Allah selalu berupaya memulihkan dan menyelamatkan ciptaan-Nya, semua bangsa dan segala makhluk agar kembali kepada keadaan semula, sesuai dengan rencana penciptaan yang diinginkan Allah. Nabi Yesaya misalnya, telah menubuatkan damai sejahtera yang akan membuktikan kasih Allah kepada manusia dan ciptaan lainnya. Dalam Yes 11:6-9 dikatakan : “Serigala akan tinggal bersama dengan macan tutul dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring sedangkan singa akan memakan jerami seperti lembu. Anak yang menyusui akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak-anak cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tidak akan ada berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan, seperti air laut yang menutupi dasarnya”. Tujuan keselamatan ini merupakan pengharapan keselamatan segala makhluk. Nubuatan mempunyai makna pada masa Yesaya dan makna eskhatologis.

PERSAHABATAN SEBAGAI PEREKAT KEMAJEMUKAN

oleh : Dr. Luhut. P. Hutajulu

Dalam bukunya yang berjudul “Living in the Presence of the Future” (Intervarsity Press, 2001), Roy McCoughry mengungkapkan bahwa”demokorasi berkaitan dengan komitmen, bukan komitmen terhadap suatu ideology, tapi terhadap sesama yang lain, bukan komitmen atas kebijakan, tapi komitmen merawat kehidupan dalam komunitas.” Jadi kualitas demokrasi sebuah negara bukan hanya ditentukan semata-mata oleh konstitusinya, tetapi oleh bagaimana demokrasi itu ditunjukkan dalam kehidupan nyata. Penghargaan aspek kemajemukan dan kesetaraan itu diungkapkan dalam satu kata yaitu persahabatan. Yang membangun sebuah Negara demokrasi secara hukum adalah UUD 45 dan Pancasila, tetapi yang membangun demokrasi adalah persahabatan dan relasi dengan tetangga secara nyata.
Asas demokrasi (demos umat, warga, rakyat;kratos: wewenang, kekuasaan), sebenarnya sederhana sekali: keputusan dibuat bukan hanya oleh orang yang memimpin, melainkan secara bersama dengan orang yang dipimpin. Kericuhan terjadi karena keputusan dibuat sepihak karena keputusanini tidak diterima oleh pihak yang lain. Sebenarnya kericuhan itu tidak perlu terjadi kalau asas demokrasi digunakan, yaitu melibatkan warga dalam pembuatan keputusan.
SistemPolitik Demokrasi dianut oleh beberapa pemerintahan, termasuk Indonesia. Definisi demokrasi yang paling ringkas tetapi memiliki makna paling dalam dan terbaik diberikan Abraham Lincoln melalui pidatonya di Gettysburg tahun 1863, yakni: government of people, by people, for the people(pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Konstitusi sebagai pelembagaan demokrasi di setiap Negara merupakan faktor yang sangat fundamental. Sesuai dengan esensi demokrasi, paling tidak ada tiga fungsi yang perlu diperhatikan pada tiap konstitusi suatu Negara yang bersifat demokratis. Pertama, kontitusi itu merupakan pengungkapan dari persetujuan(keinginan) rakyat dan dengan itu rakyatlah yang sungguh-sungguh menetapkan negaranya sendiri. Kedua, di dalamnya ada kepastian mengenai tatanan dan bentuk Negara. Ketiga, konstitusi harus memberi dan sekaligus membatasi kekuasaan yang dimiliki pemerintah. Prinsip lain yang paling mendasar dalam demokrasi adalah pengakuan terhadap “kesetaraan”(equality).Prinsip kesetaraan inilah yang paling membedakan demokrasi dari sistem-sistem lainnya.
Kemajemukan yang setara
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan bisa terjadi karena perbedaan ras, suku, etnis, agama, derah, dan berbagai macam hal lainnya. Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam kemajemukan. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berbeda-beda.Namun tidak membeda-bedakan. Semua orang sama-sama dikasihi-Nya.Keindahan pelangi justru keluar karena keberagaman warnanya.Sementara itu sebagai ciptaan Tuhan, manusia diciptakan di dalam kesetaraan , yaitu kesetaraan status. Status manusia ini setara atau sama kedudukannya di mata Tuhan karena semua manusia sama-sama berharga di mata-Nya. Maka kemajemukan yang ada di dalam kehidupan kita adalah “kemajemukan yang setara.”
Pelajaran Kemajemukan dari Sejarah
Dalam buku “Day of Empire: How Hyperpowers Rise to Global Dominance and Why They Fall”, Army Chua (professor Yale University, Amerika Serikat), mempelajari sejarah kerajaan dan Negara adikuasa dari masa lalu hingga sekarang untuk mengetahui apa yang menyebabkan suatu Negara menjadi adikuasa(hyperpower). Contoh Negara adikuasa, yang disebut Army sebagai the Magnificent Seven adalah : kerajaan Persia, Roma, Cina, Mongol, Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Ia menemukan kunci keberhasilan suatu negara adikuasa. Bila suatu Negara sudah tidak menghargai kemajemukan dan menjadi intoleran dan eksklusif, maka Negara itu pasti akan mengalami degradasi. Jadi sejarah dunia menunjukkan bahwa kemajemukan suatu bangsa sejalan dengan komitmennya untuk menghargai kemajemukan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya menerima, tapi juga menghargai kemajemukan dirinya sebagai aset bangsa.Menganai’proses demokrasi”di Indonesia saat ini bukan hanya sedang ngetrend, melainkan juga merupakan sesuatu yang urgent. Demokrasi adalah dambaan rakyat Indonesia. Sejak era reformasisemarak di negeri kita, proses demokratisasi berjalan cukup cepat, kendati berbagai ekses juga timbul di mana-mana. Demikian juga dalam sebuah Negara demokrasi , konsep majemuk dan setara adalah konsep yang abstrak dan tidak nyata. Tetapi dalam sebuah persahabatn, konsep ini menjadi nyata. Segala perbedaan dapat diatasi karena ada komitmen di antara orang-orang yang terlibat. Dalam perkembangan masa, suasana persabatan yang mengatasi segala perbedaan suku, agama dan latar belakang itu menjadi semakin pudar digantikan oleh kecurigaan-kecurigaan yang sering kali berkembang, yang diawali dari sentiment di tingkat elite. Rupanya, perkembangan masalah mayoritas dan minoritas ini bergantung kepada masalah kepentingan. Bila kita menengok sejarah Indonesia, maka yang terjadi adalah bahwa masalah mayoritas dan minoritas, apakah itu berkaitan dengan masalah agama, etnis atau masalah lainnya, sering dipakai sebagai kuda tunggangan bagi kepentingan politik. Dampak yang terjadi adalah bahwa masyarakat akar rumput yang bersahabat satu dengan yang lainnya menjadi terpecah. Kemajemukan tidak menjadi kekayaan bangsa, tetapi malahan menjadi petaka
Demokrasi dan Nomokrasi
Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila telah memberikan jaminan hukum bahwa Indonesia menghargai kemajemukan. Kemajemukan suku bangsa dan budaya merupakan salah satu kekayaan Indonesia.Untuk ini di dalam Negara bangsa, proses pengambilan keputusan untuk mengoperasionalisasi nilai-nilai Pancasila dan UUD harus melalui Demokrasi, artinya dibicarakan bersama. Untuk itu demokrasitidak boleh jalan sendiri, sebab jika hanya demokrasi saja, maka minoritas akan dirugikan. Karena itu kita tidak hanya bicara demokrasi, tapi juga nomokrasi atau kedaulatan hukum. Dengan begitu,keputusan-keputusan yang dibuat dalamdemokrasi harus sesuai dengan hukum mulai dari filosofinya. Jadi nomokrasi mendampingi demokrasi secara seimbang, secara komplementer, saling mengisi. Tetapi di atas semuanya itu, komitmen pribadi kitalah akhirnya akan menentukan arah ke depan dari Indonesia.Kita membutuhkan “Pendidikan Kemajemukan”.Kita merasa aman dan nyaman berada di antara orang-orang yang berbeda Marilah kita di sepanjang rentang hidup kita berteman, Karena hidup menjadi lebih berarti jika kita punya sahabat. SELAMAT BERSAHABAT!

Amsal 23 : 22 – 26

 oleh : Pdt. Ramlan Hutahaean, M.Th

Nasehat : Pentingkah? 
Kalau ditanya kepada masing-masing kita, dimanakah tempat sesungguhnya seseorang itu mendapatkan pelajaran mengenai kehidupan ini? Jawabannya adalah keluarga. Keluarga sebagai sebuah komponen masyarakat yang paling sederahana dapat kita katakan sebagai tempat untuk berlangsungnya proses pertumbuhan. Ada begitu banyak hal terutama teladan yang bisa diperoleh seseorang di dalam kehidupan keluarga. Terlepas dari teladan yang baik atau contoh sikap yang buruk tapi yang pasti keluarga itu merupakan tempat belajar yang pertama sejak kita hadir di dunia ini.

Saudara yang kekasih, renungan kita hari ini mau melihat bagaimana pentingnya proses pertumbuhan seorang anak dalam keluarga melalui setiap nasehat dan teladan yang baik dari orangtua. Nasehat akan menghasilkan sesuatu yang baik ketika nasehat tersebut dijadikan sebagai sebuah landasan atau pedoman dalam menjalani kehidupan. Akan tetapi, nasehat juga bisa menjadi sia-sia ketika itu hanya dijadikan sebagai sesuatu yang tidak berguna atau hanya sebagai rangkaian kata-kata manis belaka yang tidak mempunyai tujuan.

Melakukan Firman Tuhan tidak hanya melakukan kegiatan-kegiatan penginjilan atau berkhotbah semata. Ada hal yang jauh lebih penting diungkapkan Salomo membuktikan bahwa menjadi pengikut Tuhan terlihat dari kecintaan kita kepada keluarga. Salomo juga menegaskan bahwa ketaatan kepada Tuhan terlihat dari kepatuhan kepada orang tua.

Mencermati perilaku manusia yang hidup saat ini, kita bisa memastikan bahwa waktu untuk keluarga sudah semakin berkurang. Kesibukan di tempat bekerja atau kesulitan seringkali menjadi alasan untuk membenarkan alasan untuk mengabaikan keluarga. Miris memang jika membaca media massa atau melihat tayangan televisi yang menggambarkan kehidupan yang semakin bebas dan tidak terkendali tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Saudara yang kekasih, ini kesempatan yang baik melalui Firman Tuhan hari ini untuk kembali melihat ada begitu banyak hal-hal kecil yang sebenarnya sering kita lupakan. Sebagai orang tua, kita sering melupakan bahwa kebiasaan-kebiasaan kita dirumah secara tidak sadar terinternalisasi ke dalam diri anak-anak yang Tuhan anugerahkan. Sebagai seorang anak, seringkali merasa bahwa apa yang disampaikan oleh orangtua sebagai sesuatu yang membosankan dan tidak berguna. Inilah contoh sederhana yang membuat kita tidak mampu melihat kasih Allah ditengah-tengah kehidupan keluarga kita.

Dengan tetap memelihara setiap nasehat-nasehat baik yang kita peroleh dalam kehidupan ini akan memampukan kita melihat mana yang lebih baik untuk kita pilih dan jalani di dalam kehidupan ini. Kemampuan ini akan semakin teruji dan terasah saat kita menghadapi masalah-masalah kehidupan. Oleh karena itu, sebagai sebuah kesaksian kita sebagai seorang pengikut Kristus dan sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Tuhan yang memberkati kehidupan ini maka sudah sepantasnya kita tetap mengarahkan hati kepada setiap perintah Tuhan. Selamat memelihara nasehat dengan menjaga hati dan pikiran serta menyelaraskan ucapan dengan perbuatan didalam iman percaya kita kepada Yesus Kristus. Tuhan Memberkati.
 

Efesus 5: 22 – 23

Ciri Keluarga Kristen: Tidak saling menuntut 
Owa Jawa (hylobates moloch) adalah sejenis kera kecil (lesser apes) yang hidup di Pulau Jawa, meskipun banyak penduduk di Pulau Jawa yang tidak mengetahui keberadaan satwa yang sudah di ambang kepunahan ini. Owa Jawa, sebagaimana beberapa jenis owa lain, biasanya hidup berpasangan dan monogami. Untuk mendapatkan pasangan yang cocok, Owa Jawa kadang memerlukan waktu yang panjang. Namun setelah mendapatkannya, pasangan ini akan bertahan seumur hidup. Benar-benar tak tergantikan. Jika pasangannya mati, owa tersebut biasanya tidak akan mencari pasangan lagi. Sampai mati.

Pengagungan cinta kasih manusia tentu saja dan semestinya melebihi cinta kasih satwa. Walaupun kini tengah marak fenomena perpisahan dalam hubungan suami-istri, tetapi yang Tuhan kehendaki adalah hubungan yang harmonis layaknya Tuhan dengan jemaat-Nya. Efesus 5 dengan jelas menggambarkan hubungan ini. Ada cinta kasih dan kesetiaan yang dibutuhkan dalam hubungan antara suami dan istri—yakni seperti Kristus dengan jemaat-Nya. Dan, hubungan yang dipersatukan oleh Allah harus dipelihara dengan baik sebagai wujud ungkapan syukur terhadap Tuhan, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Markus 10:9) Bahkan kematian pun seyogianya hanya memisahkan manusia secara fisik.

Akan tetapi realita saat ini justru sebaliknya. Maraknya perceraian kebanyakan karena ketidakpuasaan dalam keluarga. Bercermin dari hal itu, ada hal yang senantiasa harus diperhatikan bagi suami dan istri dalam membina cinta kasih dalam keluarga. Cinta kasih itu harus dinyatakan dengan tidak memiliki sikap menuntut dan dituntut. Jika diperhatikan kembali, Efesus 5: 22-23 nampaknya seperti sebuah tuntutan bagi istri kepada suami. Hal itu terlihat dari kata “tunduklah”. Isteri harus tunduk pada suami, seperti halnya seorang pegawai kepada majikannya. Begitupun dengan isteri yang menuntut agar suami mengasihinya seperti yang tercatat dalam ayat 25. Istri menuntut suami agar dikasihi dan suami menuntut istri agar tunduk kepadanya. Masing-masing melihat “bagian” orang lain.

Maka jangan heran apabila banyak istri atau suami yang saling menuntut hak dalam kehidupan keluarganya. Oleh karena itu, perlu pengertian dan kebersamaan dalam menelaah perannya masing-masing. Bukankah seharusnya cinta sejati muncul dengan tanpa menuntut dan tanpa adanya paksaan?? Seperti kasih Kristus kepada manusia (baca: jemaat) yang memberi diri tanpa paksaan. Hanya karena cinta-Nya pada kita.

Bercermin dari realitas yang ada. Maka ada dua hal yang dapat direnungkan bersama yaitu:

1. Apakah kita sudah mengasihi pasangan kita layaknya Kristus mengasihi jemaat? Atau, mungkin kita masih harus belajar dari kera kecil yang hampir punah di beberapa kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa?

2. Cinta sejati dalam keluarga muncul bukan dari keegoisan pribadi, tetapi dari kesadaran untuk memberi. Karena kita sudah menerimanya dari Kristus maka kita pun harus memberikannya kepada setiap anggota keluarga (secara umum kepada semua orang).
 

Yakobus 4: 7-8

oleh : Pdt.Bigman Sirait

DALAM beberapa edisi lalu  kita membahas topik  tentang takut akan Tuhan. Kini kita coba membahas tentang takut pada setan. Takut pada setan, bukan sifat orang beriman. Takut pada setan justru suatu tindakan melawan Tuhan. Takut pada setan membuat kita diperbudaknya. Budak setan bisa menjadi tukang pukul yang sangat menakutkan. Uniknya, tukang pukul yang kerjanya menghajar orang, merasa diri pemberani, justru mengaku tidak takut pada setan. Ini salah, sebab pada dasarnya dia tunduk pada setan, tetapi kesadaran itu diputarbalikkan dengan mende-monstrasikan keberaniannya memukul dan menghancurkan orang sehingga dia merasa sombong dan paling hebat. Padahal dia diperbudak setan. 
Dalam Yakobus 4: 7-8 kita disuruh melawan iblis dan mendekatkan diri pada Allah. Maka takutlah kepada Tuhan dalam arti positif.  Kita adalah anak-anak Tuhan yang sudah mengenal Tuhan. Karena itu tidak ada ruang yang membuat kita takut pada setan hingga berkompromi terhadap anjuran setan. Dengan menyadari posisi sebagai orang yang kenal Tuhan, kita bisa memainkan peran secara utuh sebagai orang yang tidak takut pada setan. Sebab hanya orang yang kenal Tuhanlah yang tidak takut setan.

Bagaimana setan bekerja? Pertama: setan akan membangun rasa tidak pasti dalam hidup. Karena hidup ini tidak pasti, maka setan berkata bahwa kita harus punya uang banyak. Maka korupsilah, babat lawan-lawanmu, karena mereka berbahaya. Manusia memang butuh ke-pastian, dan setan mengobralnya. Kenikmatan-kenikmatan kosong diberikan.
Ketidakpastian itu adalah musuh kita. Karena itu datanglah kepada Tuhan karena hanya di dalam Dia-lah ada kepastian. Jangan beli barang palsu dari setan. Takut akan Tuhanlah yang memberikan kepastian, bukan saja di dalam hidup ini bahkan nanti di balik kehidupan itu, yakni kematian, misteri yang kemudian menjadi tampak nyata dan terang di dalam kehidupan.
Kedua, setan menawarkan relativisme. Setan menawarkan agar kita menghindar dari kemutlakan. Relativisme adalah satu paham yang mengatakan tidak ada yang mutlak, termasuk Alkitab, Firman Tuhan. Menurut relativisme, kebenaran itu relatif: hari ini bisa benar, besok tidak. Bagi relativisme, gereja bisa benar, tetapi suatu waktu bisa salah. Menurut relativisme, gereja  benar karena mewariskan pemikiran-pemikiran hebat. Tapi gereja salah waktu membunuh ilmuwan Galileo Galilei, karena mengatakan bumi ini berputar. Memang waktu itu ada keyakinan bahwa matahari yang berputar mengitari bumi. Karena waktu itu ada pemahaman bumi itu bukan bulat tetapi setengah lingkar. Gereja yang sangat berkuasa waktu itu, membunuh Galileo yang teorinya terbukti benar.

Orang yang tidak mau takut kepada Tuhan akan tunduk kepada setan, dan setan akan menawarkan relativisme ini sehingga tidak ada kemutlakan. Jadi Anda bisa berbuat dosa. Dan dosa itu bisa benar, bisa salah, tergantung tatanan dan ukuran yang diciptakan. Dalam relativisme, ukuran membunuh itu sangat relatif dan sangat situasional. Maka membunuh orang yang brengsek bisa dibenarkan. Mencuri, belum tentu dosa, karena tergantung situasi. Daripada mati kelaparan, mencuri jadi boleh, sah atas dasar argumen tadi. Itulah relativisme yang harus kita lawan!

Lawan relativisme!
Jangan pernah mencuri karena alasan lapar, karena kita percaya betul bahwa orang yang takut akan Tuhan akan diperlihara dengan cara-Nya yang ajaib. Karena itu jangan takut kepada setan. Lawan relativisme, bangunlah struktur kebenaran kemutlakan, dan taklukkan dirimu ke sana. Dan kemutlakan itu adalah Firman Tuhan itu. Kadang, melakukan ajaran Tuhan itu berat. Bayangkan, kita disuruh berdoa buat musuh. Padahal kita ingin menghajar dan menghabisi musuh, tapi firman Tuhan menyuruh kita memberkati musuh. Sungguh sulit. Maunya kita menangkap dan hancurkan musuh. Itu anjuran setan. Semangat takut akan Tuhan harus dikembangkan yang membuat kita berpikir ratusan kali kalau mau berbuat dosa. Dan akhirnya kita selamat dengan tidak berbuat dosa, karena tidak takut kepada setan yang menawarkan berbagai kemungkinan.
Yang ketiga setan juga menawarkan kesempatan, seakan-akan hanya dengan melakukan apa yang ditawarkan setanlah kita akan mendapatkan kesempatan. Dengan korupsi kita akan mendapat kesempatan kaya. Dengan telikung sana-sini, kita akan punya kesempatan menduduki kursi jabatan. Kaya, punya jabatan tinggi, memang tidak salah, tetapi bagaimana cara meraih dan menjalaninya. Maka setan akan menawarkan berbagai kesempatan, bahkan termasuk pesta pora dalam dosa. Seakan-akan kalau tidak ikut itu kita akan habis.

Mungkin kesempatan jauh darimu. Kejujuran mungkin membuatmu disingkirkan, tidak disukai. Tetapi percayalah, Tuhan pasti menolong, menuntun dan membela. Bagaimana mendemonstrasikan itu sebagai orang yang mengenal Tuhan, itu perlu kita bangun. Jadi, jangan takut pada setan yang datang menghimpit dengan relativisme, atau menggoda dengan kesempatan-kesempatan. Ketika kita merasa takut akan hari esok, takut sakit, itu wajar sebagai manusia. Tetapi Tuhan berkata: “Jangan takut, serahkan takutmu kepada-Ku. Serahkan khawatirmu kepada-Ku.”
Takut dan khawatir yang dipelihara akan membunuh keberimanan, karena  membuat setan tumbuh subur dalam hidup kita. Karena itulah kita perlu bertarung seperti yang Tuhan kehendaki sehingga hidup kita berkemenangan, hanya untuk memuji dan memuliakan Dia. Jangan hina dirimu dengan takut pada setan. Dengan takut pada setan justru kau mengatakan bahwa Tuhan tidak hidup. Lawan setan itu, maka bahagialah hidupmu karena kau merdeka.

Ibrani 13: 5-6

oleh : Pdt. Bigman Sirait
 
Reformata.com - Hidup berbagi adalah semangat kekristenan. Hidup tidak boleh berpusat pada diri, sebab itu akan membuat kita tidak pernah puas dengan yang kita miliki. Ibrani 13: 5-6 mengingatkan kita untuk tidak menjadi hamba uang. Sebelumnya, pada ayat (1-2) setiap kita diajar untuk memelihara kasih persaudaraan, memberi tumpangan kepada orang lain, dst. Artinya kita diajarkan bahwa hidup itu tidak berorientasi kepada diri, tetapi memiliki semangat berbagi.
Kepuasan justru didapatkan ketika orang mampu berbagi. Kebahagiaan orang lain akan menjadi kebahagiaan kita. Tetapi ketika orang berkonsentrasi kepada dirinya sendiri ia tidak akan menggapai kepuasan, dan ini membuat dia tidak pernah berhenti mencari harta karena tidak pernah merasa cukup. Ini mengakibatkan orang menjadi serakah. Ada  paradoks: ketika Anda memberi, Anda mendapat kepuasan. Ketika Anda mengumpulkan tanpa mau membagi, Anda justru mendapat kesengsaraan.
Menjadi hamba uang adalah keserakahan. Hamba adalah orang yang sudah tidak berhak atas dirinya, hamba adalah orang yang tidak punya keinginan pada dirinya. Ia seperti orang mati yang bisa berjalan. Ia seperti robot karena tidak punya hak atas dirinya. Dia tidak boleh mengungkapkan perasaannya. Apa pun kata majikan dia harus lakukan. Dia tidak boleh mengeluh sakit, capek. Atau bahkan  dia bisa kehilangan nyawanya, karena dia tidak lagi berhak atas nyawanya. Sebagai hamba uang, maka uang akan mengatur dia di dalam segala hal. Hidup-matinya pun ditentukan uang.
Sifat selalu merasa tidak cukup, akan membinasakan kita, membuat kita berubah tatanan nilai. Orang yang dulu sahabat karib, bisa menjadi orang asing hanya karena pertambahan harta bendanya. Ia menjadi besar kepala, sombong. Keserakahan merusak mental dan moralitasnya. Mereka cenderung kehilangan identitas, meremehkan orang lain. Orang serakah cenderung berpusat pada dirinya, dan harga dirinya adalah harta bendanya. Orang seperti ini mengerikan, karena hanya peduli pada bagaimana mendapatkan harta, tak peduli bagaimana caranya. Bagi orang ini, korupsi, mencuri, sah-sah saja. Mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain tidak salah. Orang serakah hanya mengumbar hawa nafsu, menindas orang lain. Ketidakadilan sosial akan melebar karena banyaknya orang serakah yang menumpuk kekayaan untuk diri sendiri. Dan itu semakin dipersulit ketika harta identik dengan harga diri. Kita tidak melarang orang menjadi kaya, tetapi kayamu caranya seperti apa?
Kalau semua orang kaya membagi dirinya, betapa bahagianya hidup. Dia menolong banyak orang. Orang kaya belum tentu serakah. Banyak orang kaya yang takut Tuhan. Tetapi ketika orang kaya punya sifat serakah, maka ia selalu merasa kurang. Ini yang mengerikan. Karena itu kita harus mengendalikan diri supaya tidak diperbudak uang. Sudah seharusnya uang itu yang kita perbudak.
Bagaimana kita bisa masuk ke dalam tahap seperti ini? Menarik apa kata Ibrani: “Cukuplah dirimu dengan apa yang ada padamu”. Dalam Doa Bapa kami, Tuhan Yesus mengajari kita berdoa: “Berikanlah kami pada hari ini makanan yang secukupnya”. Maka mencukupkan diri dengan berkat Tuhan itu sangat indah. Tuhan memberi tidak lebih tidak kurang, selalu pas buat kita. Pas menjadi kenikmatan. Pas menjadi kesenangan membuat kita terus bergantung kepada Tuhan. Pas akan membuat kita erat bersatu dengan Dia.

Jangan ekstrim
Harta memang penting, tetapi ada yang lebih penting lagi yaitu Yang Memberi Harta. Uang penting tetapi ada yang lebih penting, yaitu Yang Memberi Uang, yakni Tuhan. Tapi jangan terjebak dalam sikap ekstrim yang menganggap kaya itu dosa. Tetapi jangan pula berkata kekayaan adalah berkat Tuhan padahal harta itu kita peroleh di atas penderitaan orang lain. Kau tumpuk harta, tidak mau berbagi, bagaimana kau bilang itu berkat Tuhan? Apa pun berkat yang Tuhan berikan, itu akan menjadi riil sebagai berkat kalau bisa memberkati orang lain di sekitar kita juga. Jangan serakah. Pikirkan orang lain sekitarmu. Banyak orang berkekurangan yang memerlukan pertolongan, yang Tuhan percayakan dalam pelayanan kita. Hiduplah bersama mereka, mengabdilah bersama mereka supaya nama Tuhan dipermuliakan.
Jangan menjadi hamba uang tetapi cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Kalau Tuhan memberi rezeki 5 jangan paksa untuk jadi 10. Percayalah, 5 itu baik dan pas untukmu. Tetapi kalau kau paksa menjadi 10, timbul masalah: tidak puas, sehingga hubungan dengan istri mulai kacau, hubungan dengan anak mulai kacau. Banyak orang dalam keserakahan mengundang malapetaka ke rumahnya. Sehingga banyak orang berdiri mencoba mencari penyelesaian tetapi tidak mau untuk memeriksa diri, mendiagnosa diri yang sudah telak terkena penyakit serakah. Justru itu menjadi biang persoalan.
Ketenangan dan cinta kasih di dalam rumahmu jangan diganti dengan keserakahan terhadap harta benda. Karena harta benda itu akan menghanguskan hidupmu, hatimu, membuat engkau lengah dan tak lagi mampu menjaga diri seperti yang Tuhan kehendaki. Jadi cukupkan dirimu dengan apa yang ada. Karena Tuhan telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau”. Artinya, Dia adalah Tuhan yang selalu bersama-sama dengan kita. Lalu apa yang kita takutkan?
Persoalannya, beranikah kita belajar untuk mengatakan “cukup” atas berkat Tuhan? Beranikah kita belajar menikmati hasil keringat sendiri? Beranikah Saudara belajar untuk menikmati apa yang ada saja? Bekerjalah sekuatnya, serajinnya, nikmati hasilnya, tetapi jangan menambah penghasilan itu dengan cara yang tidak bijak, mencuri dan menipu. Untuk itu dituntut keberanian untuk membangun kembali struktur pikir kita, supaya kita berpikir sehat tentang hidup ini sebagai anak-anak Tuhan. Mari mengendalikan diri. Mari membuat semacam platform bagi kehidupan. Banyak harta bukan apa-apa, tetapi memiliki Tuhan, itu harus.

Kaum Terpinggirkan

oleh : Pdt. Bigman Sirait

BERITA Natal disampaikan malaikat kepada gembala di adang. Ini sangat mena-rik, sebab dalam tradisi Yahudi, gembala disebut sebagai orang berdosa, karena dinilai sebagai pekerja yang tidak jujur. Ada pun orang berdosa lain dalam tradisi Yahudi antara lain: pemungut cukai. Mereka disebut berdosa ka-rena memungut cukai atau pajak dari warga Israel, saudara sendiri, untuk diberikan kepada orang Romawi sebagai penguasa waktu itu. Pemungut cukai dianggap pengkhianat. Pendosa ketiga adalah penyamak kulit dan seje-nisnya karena pekerjaan mereka dianggap hina dan busuk. Orang Samaria juga disebut berdosa, karena dianggap paling bawah menurut ukuran orang Yahudi. Samaria adalah bagian dari Israel yang dianggap murtad atau meninggalkan Tuhan.
Orang berdosa dianggap tidak berhak atas hal-hal yang indah, dan tidak  mungkin mendapatkan sesuatu kesempatan sorgawi. Na-mun berita tentang Yesus yang lahir itu, kedatangan Sang Mesias, Juru Selamat, justru diberitakan kepada para gembala. Menurut istilah kita, ini jelas “nyeleneh”. Sebab bukankah seharusnya be-rita mahapenting itu disampaikan kepada para imam? Karena imam adalah orang-orang hebat, ekse-kutif luar biasa yang punya hak membuat keputusan. Imamlah yang menentukan seseorang ber-dosa atau tidak, atau sebaliknya menyatakan sudah diampuni, dan menentukan ke mana arah perjala-nan sinagoga. Sebagai pemuka masyarakat yang paling bergengsi, suci, seharusnya para imamlah yang pertama dan berhak mende-ngar berita bahwa Allah telah datang ke dunia dan menjadi sama dengan manusia. Tetapi malaikat justru menyampaikan berita itu  kepada gembala yang notabene disebut orang berdosa. 
Yang menarik lagi, para gembala tidak sedang berada di sinagoga. Mereka sedang di padang gurun, menggembalakan domba. Artinya, kondisi mereka pasti dekil, tidak menyenangkan. Tetapi justru di sanalah Tuhan datang dan menya-takan diri. Sering kali secara simbolik disebut bahwa Bait Allah adalah tempat di mana Allah datang dan menyatakan diri. Tetapi malam  itu Allah bukan datang ke Bait Allah, karena Bait Allah rupa-rupanya sudah menjadi tempat yang gelap karena dikuasai orang-orang yang ingin mengolah dan mengatur semuanya. Bait Allah ada tanpa Allah bait di dalamnya. Itu tragedi. Kenapa bisa begitu? Karena ter-nyata Bait Allah sudah “dikudeta”, dikuasai hawa nafsu kemanusiaan, struktur agama yang sangat kacau yang mengambil keuntungan bagi diri, bukan lagi kemuliaan bagi Allah.
Oleh karena itu Natal mempunyai keberpihakan yang sangat luar biasa terhadap orang-orang yang dipinggirkan. Natal ada bersama orang-orang yang rendah hati, rendah strata sosial dan ekonomi. Natal menjangkau orang-orang tersingkir, yang dianggap tidak bernilai. Keberpihakan Natal bukan kepada sinagoge suci, atau institusi yang punya struktur tinggi di dalam keagamaan. Keberpihakan itu ditujukan kepada orang-orang di bawah yang tampak lemah, hina dan susah. Ke sanalah Natal itu menjangkau. 
Jadi, siapa pun Anda jangan pernah berpikir bahwa Natal tidak berpihak kepada Anda hanya karena tidak mampu membuat pesta Natal. Jangan mengira Anda tidak berhak atas Natal hanya karena tidak bisa menyuguhkan hidangan. Bukan begitu. Natal adalah soal Allah berkata-kata kepada umat-Nya. Natal adalah ketika Allah hadir di dalam kehidupan umat-Nya.

Jangan takut
Malam itu malaikat berkata: “Jangan takut, sebab sesungguh-nya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar, untuk seluruh bangsa…” Berita kesukaan besar untuk seluruh bangsa, tentunya gembala tidak representatif. Tetapi sejarah mencatat merekalah yang mendengarkan. Kesukaan bagi seluruh bangsa disampaikan kepada orang-orang biasa itu. Alangkah indahnya karena para gembala itu dijadikan oleh para malaikat sebagai sumber pertama yang mengetahui sebuah berita yang dinantikan oleh seluruh bangsa. Berita Natal bukan disampaikan kepada orang yang menempatkan diri tinggi tetapi justru kepada orang yang dipilih Allah. Natal mendatangi orang-orang yang dikasihi dan dicintai-Nya,  yang diperkenan-Nya menurut ukuran-Nya, bukan ukuran kita. 
Keberpihakan Natal kepada sua-sana hati yang jujur, yang dipinggir-kan, harus menjadi semangat untuk kita memikirkan bahwa Natal datang dan menjangkau setiap orang di segala lapisan. Tetapi yang menjadi penting adalah sikap hati yang sung-guh-sungguh. Gembala itu datang dan melihat Bayi Kudus dan mence-ritakan apa yang mereka telah dengar dan lihat itu dengan segala ketulusan. Sepulang dari situ mereka bersorak-sorai: “Sungguh Anak Allah itu sudah datang ke dunia”. Semua sesuai dengan apa yang disampaikan malaikat kepada mereka.
Oleh karena itu, Natal pertama itu telah menceritakan kepada kita bagaimana sebetulnya sikap hati atau suasana hati atau sikap diri atau kejujuran berpikir di dalam diri kita itu menjadi modal atau bekal pertama yang paling dibutuhkan saat Natal. Bukan bahan baku untuk membuat kue, atau hiasan. Itu menjadi pelengkap penderita yang boleh ada  atau tidak ada. Tetapi menjadi lebih penting ada-lah mensyukuri, atau menyambut Natal itu dengan sikap hati yang sungguh-sungguh. 
Natal bukan tergantung tempat yang luar biasa dengan segala dekorasi yang indah. Mau di mana pun kita berada, di gereja yang megahkah atau sederhanakah ataukah sendirian? Di malam hari atau di siang hari, Natal tidak ter-ganggu selama hati telah siap menjadi tempat di mana berita Natal itu dikumandangkan. Dan hati kita tahu bersyukur dan ber-sorak-sorai. Oleh karena itu, setiap Natal mari kita melihat kepada batin kita, menelusuri jauh ke dalam, berdialog dengan batin apakah kita seperti apa yang dikehendaki-Nya, sehingga hidup kita menyenangkan bagi-Nya.

Jumat, 08 Oktober 2010

2 Kor 12: 7-10, Menyikapi dan Melewati Kesulitan

oleh : Pdt. Bigman Sirait 
 
Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena pernyataan-pernyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri dalam dagingku, … …(2 Kor 12: 7-10). Apa yang dikatakan Paulus dalam ayat-ayat di atas, berlawanan dengan semangat jaman ini, di mana manusia menginginkan hanya kenikmatan. Yang dimaksud Paulus tentang “duri” adalah menyangkut kesakitan, kesukaran, penderitaan, dan itu digambarkannya di ayat 10. Bisa jadi ini berbentuk penyakit, atau hal-hal yang terus datang di dalam dirinya secara rutin, dan sangat menyedihkan. Sementara anak rohaninya sendiri, Timotius, pun mengalami hal yang sama. Timotius mengalami gangguan pencernaan (maag), dan Paulus berkata supaya Timotius jangan hanya meminum air tetapi menambahkan sedikit sari anggur. Apa yang dibicarakan Paulus, sangat luar biasa, yakni kesadaran menerima apa yang Tuhan kerjakan, kesadaran menerima pembentukan oleh Tuhan. Ini hebat sekali. Paulus mempunyai karunia-karunia luar biasa, penglihatan-penglihatan yang sangat hebat, yang melengkapi dia dalam pelayanannya. Tetapi Paulus bukan tipe orang yang bisa membuat mukjizat. Tapi ia juga sangat luar biasa dalam pengajaran dengan logika yang kuat. Dia
bahkan mampu mengungkapkan kebenaran itu di hadapan para ahli bicara Yunani di Athena. Dia mampu bicara kepada mereka yang kacau ajarannya dan mencoba meluruskannya. Ini sangat luar biasa.
Paulus menyikapi duri dalam tubuhnya bukan dengan kecewa, marah. Padahal dia sudah tiga kali memohon kepada Tuhan supaya itu dicabut, tetapi Tuhan berkata, “Tidak, cukuplah kasih karunia-Ku bagimu”. Tiga kali dia memohon, tidak juga dikabulkan Tuhan. Di sini, kita mungkin punya pemikiran, apakah Paulus ini seorang yang hina, tidak layak mendapat kasih karunia dari Tuhan? Apa Paulus ini seorang berdosa, terkutuk, yang tidak layak diberkati? Nanti dulu. Saya tidak berani mengatakan apa pun tentang rasul ini. Banyak hal luar biasa diperbuatnya. Bayangkan apa yang dikatakannya, “Ada pun hidupku ini bukan aku lagi melainkan Kristus yang hidup dalam aku”. Luar biasa!

Melakukan kebenaran
Sering kita mengatakan bahwa anak-anak Tuhan, kalau sakit itu tidak memuliakan Tuhan. Anak-anak Tuhan, kalau menderita, itu penghinaan. Anak-anak Tuhan itu, kalau tidak jago, tidak hebat, itu tidak memuliakan Tuhan. Anak-anak Tuhan, kalau sakit, itu tidak boleh menjadi kesaksian. Bacalah seluruh isi Alkitab, dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, tidak akan pernah ditemukan kalimat dan prinsip seperti di atas. Tetapi, Alkitab jelas mengatakan: Yang memalukan Tuhan itu adalah orang yang tidak melakukan kebenaran. Tidak memuliakan Tuhan adalah tidak melakukan kebenaran. Orang yang menghina Tuhan, adalah orang yang tidak melakukan kebenaran.  

Orang yang melakukan kebenaran, sekalipun pola hidupnya pasang-surut, beda-beda yang dialami dalam perjalanan hidupnya, tidak pernah merasa gelisah. Karena bukan itu yang penting bagi seorang anak Tuhan, tetapi melakukan kebenaran itu sendiri di dalam kehidupannya, bukan sekadar mengatakan tetapi mewujudkannya. Bukan sekadar di luar tetapi di dalam batinnya, menjadi bagian dari seluruh kehidupannya. Adakah itu di dalam hidup kita? Itu yang penting bagi kita.

Nah, apa yang dialami dan dilihat Paulus, penting kita pikirkan. Paulus mempunyai satu sikap di mana kita bisa belajar. Ia memandang terbalik dari apa yang bisa kita pandang. “Justru di tengah-tengah kesulitan itu, aku merasakan kesukacitaan, kekuatan yang luar biasa karena di dalam kelemahanku nyatalah kekuatan Tuhan,” katanya. Perspektif yang sangat hebat sekali. Di jaman ini kita selalu ingin menjadi the winner, peme-nang. Kita maunya selalu senang, tidak mau susah. Apalagi kita dijejali lagi dengan berbagai ajaran yang seperti itu, sehingga tidak bisa menerima kenyataan ketika sakit berkepanjangan, misalnya. Kita tidak bisa menerima kenyataan gagal terus dalam bisnis, atau keluarga kacau-balau.  Padahal permasalahan bisa jadi karena kesalahan sendiri. Anda selalu gagal dalam kerja, dihimpit, dipecat. Tetapi setelah dicek, ternyata kualitas kerja Anda yang payah. Wajarlah dipecat, jangan salahkan Tuhan.  Dalam kepahitan hidup, ketika kita merasa betul-betul sudah melakukan kehendak Tuhan, berbahagialah, karena diberi kesempatan oleh Kritus memikul salib-Nya. Berbahagialah, karena bisa seperti Paulus.

Ketika dalam kesulitan, jangan gundah-gulana hatimu. Ketika penyakit berkepanjangan jangan bersedih. Sepertinya kau  ditinggalkan Tuhan, tapi tidak. Tetapi sedihlah kalau kau tidak berdiri di atas kebenaran, dan tidak melakukannya. Sedihlah kalau kau meragukan Tuhan, sedihlah kalau kau tidak lagi percaya kepada Dia, dan goncang hanya karena kondisi-kondisi dalam hidupmu. Sedihlah kalau kau berkata, “Di mana kau Tuhan!” Demi Tuhan yang hidup, tidak ada persoalan yang terlalu berat dalam hidup ini, kecuali meragukan Tuhan. Tidak ada persoalan yang paling berat kecuali tidak bisa lagi bergantung kepada-Nya. Tidak ada persoalan dalam hidup ini kecuali sudah menggugat Tuhan dengan cara yang salah, apalagi memaksa DIA untuk melakukan apa yang kita inginkan.
Maka oleh karena itulah ketika Paulus meminta, tiga kali tetapi Tuhan menjawab: “Tidak, cukup kasih karunia-Ku bagimu”, maka berimanlah Paulus dan melihat betul, kasih karunia Tuhan lebih dari cukup di dalam hidupnya. Dia tidak merengek, tidak meninggalkan Tuhan. Bercermin dari sini, maka pola pikir kita mesti dibenahi di dalam diri kalau mau menjadi orang Kristen yang baik, membuat benteng pertahanan yang solid bagaimana Kristus berkehendak dalam hidup kita.

Mazmur 8, Sesama Itu Ada Di Dalam Keberagaman

oleh : Pdt. Bigman Sirait

siapakah aku?  Ini pertanyaan yang tidak gampang dijawab, dan menjadi bahan pemikiran para filsuf selama berabad-abad, sampai se-karang. Tetapi Alkitab memper-saksikan “Siapakah aku” dengan lugas dan tepat. Pertama, Alkitab mengatakan, “aku” adalah cip-taan Tuhan yang dicipta menurut gambar dan rupa-Nya. Aku adalah yang dihargai oleh Allah. Aku dijadikan hampir sama seperti Allah (Maz  8). Jadi “aku” adalah makhluk agung dan mulia lebih dari ciptaan mana pun.  Kedua, aku adalah sebuah pribadi yang utuh, bukan sekadar yang kelihatan mata. Yang ketiga, aku adalah aku yang mempunyai pengalaman di dalam hidupku, menerima dan mengalami kasih Allah yang ajaib itu. Aku adalah aku yang sadar dan insyaf akan dosa-dosaku yang bertemu Kristus di dalam kebenaran.
Saudara, tanpa pertobatan seseorang tidak akan bisa menemukan jati dirinya. Pertobatanlah yang membawa seseorang mengenal siapa dia. Rasul Paulus mengatakan: “Hidup bagiku adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan”. Dia tahu arti kesementaraan, dia tahu arti kekekalan, ia tahu Tuhan dan dia tahu dirinya karena dia sudah mengalami pertobatan. Pertobat-an membawa kita mengenal identitas. Tanpa pertobatan seseorang tidak akan pernah menemukan jati dirinya. Tanpa pertobatan, seseorang tidak saja tidak menemukan jati dirinya, tapi juga tidak akan bisa mengenal sesamanya.
Maka bagi yang sudah menga-lami pertobatan, sudah mengenal dirinya, maka dia mengenal bahwa  sesamanya adalah: dia yang kuperlakukan seperti diriku, demi-kian juga sebaliknya, ia memper-lakukan aku bagaimana seharus-nya. Sungguh suatu relasi yang indah. Tetapi sayang sekali, relasi indah dan ideal itu tidak selalu terjadi. Bisa saja kau mengasihi sesamamu tetapi sesamamu itu kurang mengasihimu. Tetapi engkau sebagai orang yang bertobat, yang sudah menerima Kristus tentu mempunyai inisiatif untuk melakukan itu. Mother Theresa menjadi buah bibir seluruh dunia tentang apa yang dia lakukan. Mengapa dia mau berbuat itu bagi orang-orang miskin Kalkutta, India? Karena konsep yang dia pahami: mereka sesamaku.
Harus diperhatikan, sesama tidak terbentur karena perbedaan ras, suku, atau bangsa. Jadi nilai yang disebut sesama itu bersifat universal. Sesama itu tidak bisa dikurung oleh tembok-tembok peradaban manusia. Sesama itu tidak bisa dibatasi sistem nilai yang diciptakan. Sesama juga tidak boleh terbentur oleh perbedaan agama. Itu sebab Tuhan mengatakan: “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sediri”. Maka yang disebut sesama itu tidak terbentur oleh perbedaan agama.
Oleh karena itu perlu kedewasaan di sana. Kita tidak boleh menjadi orang yang eksklusif, terbentur pada hal-hal yang picik. Sesama itu justru terwujud dalam keragaman, bukan kesamaan. Justru dalam keberagaman maka bisa tercipta sesama. Kalau semua sudah sama, tidak ada lagi sesama, tetapi karena ada perbedaan, keragaman suku, ras, agama, bangsa, dan karakter atau sifat. Tetapi di dalam keragaman itulah muncul apa yang disebut sesama. Jadi kalau Anda mencari sesama karena sama dengan Anda: sama sukunya, rasnya, agamanya, itu bukan sesama, itu sama namanya. Sama dengan sesama itu beda. Sesama itu dua pribadi, sama itu satu merek (jenis). Kalau itu yang menurut saudara sesama, betapa rendahnya pemahahan Anda tentang makna sesama.

Seperti binatang
Kita sering kali salah mengerti keberagaman hanya karena tidak seperti apa yang kita bayangkan, akhirnya kita menjadi terpecah dan eksklusif dalam kelompok-kelompok. Kita sering kali menjadi orang yang tidak siap menerima keragaman, kita berpikir terlalu picik dan sempit di dalam soal keragaman. Kita mencampur aduk konsep sesamaku dengan iman. Saya percaya Yesus juru selamat satu-satunya. Iman saya tidak bisa diganggu gugat. Tetapi wawasan saya tidak menjadi sempit, picik, eksklusif lalu  tidak lagi melihat orang lain yang tidak percaya Kristus sebagai bukan sesamaku. Justru kalau aku percaya Kristus juru selamatku, akan kubuktikan perintah-Nya: “Kasihilah sesamamu”. Kalau saya tidak bisa melakukannya, itu hanya membuktikan bahwa sesungguhnya saya belum kenal Yesus Kristus sungguh-sungguh. Oleh karena itu sesama itu merupakan harmonisasi kehidupan anak manusia di bumi ini. Itu sebab kedamaian dapat ditawarkan kekristenan, bila kita   mengerti, memahami dan mau melakukan itu semua.
Hanya binatanglah yang menerjemahkan sesama sebagai sama. Sama jenis atau spesies. Anjing bergaul sama anjing. Itu pun kadang-kadang berantam juga. Mana bisa anjing ketemu sama anjing lalu duduk  tenang, mereka akan berkelahi. Atau sebaliknya mana mungkin kucing dan tikus makan sepiring berdua. Karena mereka tidak sama, mereka datang dari jenis berbeda. Tikus dengan tikus bisa makan sepiring. Anjing dengan anjing bisa makan sepiring.  Kalau sama itu baru dinamakan sesama—maaf—itu binatang. Dan kita kan bukan binatang, kita manusia yang punya peradaban tinggi. Jangan menghina dan jangan merendahkan diri dengan sikap-sikap yang salah tadi, hanya mau cari samanya saja: sama agama, sama suku. Itu sangat memalukan sekali. Memang kalau binatang, perbedaan adalah permusuhan, itu bagi mereka.        Karena itu orang-orang Kristen harus mampu menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang mudah dipecah belah dengan isu yang sering terjadi di Indonesia ini, isu-isu SARA. Kita bukan tipe seperti itu, dan tidak boleh terjebak dalam hal itu. Kiranya kita boleh memberikan sumbangsih yang penting bagi bangsa ini, menjadi penyejuk. Kiranya kita boleh memberikan gambaran atau relasi yang sehat antara aku dan sesamaku sebagai sesama anak bangsa. Sehingga kita tidak terjebak dalam perpecahan tetapi terikat pada persekutuan. Kalaupun orang lain menguman-dangkan perpecahan, orang lain merangsang untuk timbulnya kehancurna, biarlah kita menjadi air sejuk yang mengubah semua-nya menjadi indah. Kita menjadi berkat bagi orang-orang sehingga mereka boleh belajar apa itu ma-nusia dan siapa itu manusia. Manu-sia bukan binatang yang siap dilalap dan melalap manusia lain. Manusia adalah manusia yang justru membangun harkat sesama. 
Siapakah sesamaku, itu bukan hal sederhana, itu suatu prinsip tinggi yang Tuhan ajarkan kepada kita menyangkut harkat dan harga manusia. Oleh karena itu biarlah kita boleh mem-berikan sumbangsih bagi jaman ini, bagaimana seharusnya hidup berelasi supaya manusia itu tampak beda dari binatang, karena kita memang bukan binatang. Dan biarlah kita bisa memberi sumbangsih besar karena di tengah pertikaian kita justru menawarkan  perse-kutuan.

Senin, 04 Oktober 2010

Amsal 19: 21-23, Rencana Jahat pun Tuhan Ijinkan Terjadi

Oleh : Pdt. Bigman Sirait

Setiap memasuki tahun baru, banyak prediksi tentang hal-hal yang “buruk”. Ada yang bilang bahwa tahun depan perekonomian lebih suram, bencana alam melanda, ki-sruh politik, dan berbagai isu yang sifatnya mencemaskan. Ini sebuah fenomena yang harus disikapi hati-hati. Dan  sebetulnya tidak terlalu penting apa yang akan terjadi tahun depan. Apakah masa depan serba gelap, terjadi pertikaian politik, ekonomi mero-sot, bukan itu masalahnya, tetapi bagaimana kita hidup. Apakah Tuhan ada bersama kita  dalam menjalani hari-hari kita.
Amsal 19: 21-23 mengatakan: “Banyak rancangan di hati manu-sia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana……” Silakan merancang masa depan. Silakan membaca berbagai analisis di media-media, tetapi itu tidak perlu membuat gelisah, karena itu cuma analisis. Orang bisa saja meramal dan bernubuat, namun hanya ada satu kepastian dalam hidup: Tuhanlah yang menentu-kan segalanya. Kalau Anda per-caya Tuhan kenapa harus berpe-gang pada ramalan atau prediksi paranormal? Bukankah itu  peng-hinaan kepada kedaulatan Allah? Kita toh tidak bisa mengubah keputusan Allah. Allah bukanlah Allah yang bisa berubah-ubah. Allah adalah Allah yang abadi dan kekal melintasi ruang dan waktu. Dia tahu segalanya.

Banyak rancangan di hati manu-sia, termasuk rancangan jahat kepada orang Kristen. Kalau itu terjadi, itu pun karena Tuhan ijinkan. Ketika Sadrach, Mesach, Abednego hendak dibakar di Babel, mereka berkata: “Raja, buang kami ke api itu, Allah kami akan menyelamatkan kami. Tetapi kalau-pun kami terbakar mati, Allah tetap Allah.” Itu iman sejati dan luar biasa. Api cuma sebuah feno-mena. Hidup hanya sebuah feno-mena. Artinya, bukan hidup dalam hidup bernafas yang menjadi penting, tetapi hidup dalam ber-iman kepada Tuhan. Karena hidup beriman pada Allah itulah Paulus berkata: “Hidup Kristus, mati untung”. Kematian tidak menjadi masalah. Tetapi kalau hidup kita terikat pada fenomena hidup adalah bernafas, maka kalau kita tidak bernafas atau mati, itu menjadi malapetaka. 
Apa pun yang kita lakukan, pen-ting kita pikirkan bahwa masa depan itu di tangan Tuhan. Maka memasuki 2010 tidak perlu ada ketakutan. Silakan berencana, te-tapi bukan itu yang menentukan hidup-matimu, bukan itu yang me-nentukan kepuasanmu. Kita harus membuka ruang di mana Tuhan akan memutuskan. Bila prediksi Anda yang begitu presisi ternyata meleset, tidak usah kecewa. Ker-jakan apa  yang bisa kau kerjakan tetapi sadar selalu ada ruang terbuka dalam hidupmu di mana Tuhan yang menentukan dan yang memberikan keputusan-keputusan yang pas. Dia akan lakukan apa yang mau Dia lakukan. Sesuatu tampaknya gagal, itu kan menurut kita sebagai manusia. Rencana Tuhan selalu bagus, selalu berhasil, termasuk dalam gagalmu dan sakitmu, sebab di sana ada sesuatu yang mau dikerjakan-Nya.

Kesetiaan
Lalu di ayat 22 dikatakan: Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya; lebih baik orang miskin daripada seorang pem-bohong. Kesetiaan sangat penting dari setiap orang. Orang yang setia itu bisa dipegang kata-katanya. Orang setia bisa dipercaya. Setia dan iman itu sama, yaitu ketetapan kepada satu keyakinan. Artinya, kalau Anda sudah percaya Tuhan, percayalah penuh, tidak lari-lari. Bila pada 2009 dan sebelumnya kita beriman kepada Tuhan, maka 2010 dan seterusnya juga harus begitu. Kesetianmu itulah harga dirimu di dalam bertuhan. Kese-tiaanmu itulah bukti kualitas iman-mu di dalam Tuhan. Jadi, bertuhan itu pun harus seperti itu. Kita per-caya bahwa rancangan Tuhan selalu baik. Rancangan yang baik menurut Tuhan itu bisa jadi sakit-penyakitmu, atau berbagai persoa-lan yang kamu hadapi. Tetapi waktu melewati sakit-penyakit dan per-soalan itu, sering kali kita berkata: “Aku jadi tahu dan belajar banyak dari peristiwa ini”. Tetapi bisa juga kita malah sering marah: “Kenapa begini dan begitu!” Sering kali satu kondisi mengubah warna kesetiaan kita, sehingga rasa percaya kepada Tuhan terguncang karena fenomena kegaga-lan dan kesakitan yang kita alami.
Hati-hatilah, sebab orang yang tidak setia menjadi tidak ada harga-nya. Bahkan dikatakan, lebih baik orang miskin daripada seorang pem-bohong. Orang yang kaya dari hasil menipu dan mencuri, itu tidak ada harganya. Orang miskin jujur, jauh lebih bernilai di mata orang benar dan di mata Tuhan. Tetapi di mata manusia-manusia rakus, pembo-hong yang kaya itulah yang benar. Jika dikatakan orang miskin lebih baik dari seorang pembohong, maka saya mengatakan lebih baik dan lebih bersukacita penuh kepastian orang beriman kepada Tuhan daripada mengandalkan kemampuan diri dan kekuasaan yang dimiliki.

Akhirnya dalam ayat 23 dikatakan: “Takut akan Allah mendatangkan hidup maka orang orang bermalam dengan puas tanpa ditimpa malape-taka”. Jadi, ternyata ujung dari semuanya cuma takut akan Allah-lah yang mendatangkan kehidupan. Takut akan Allah itulah yang menda-tangkan jaminan. Takut akan Allah itulah yang medatangkan kepastian. Kalau begitu, tahun depan apa yang terjadi? No body knows. Kalau si A dan si B ngomong ini dan itu, suka-suka merekalah. Mau seribu ran-cangan, perhitungan, pertimba-ngan, argumentasi, itu hanya menurut kita. Apa Tuhan bilang begitu? Tidak ada yang tahu. Kita harus mengurung diri kita pada keterbatasan kita, tetapi mesti berani menerima Allah yang tidak terbatas itu. Betapa indah dan se-derhana untuk menggapai keba-hagiaan dan kepastian dengan takut akan Allah. Takut akan Allah tentu bukan satu kalimat, bukan sekadar imbauan dan khotbah, tapi realita hidup yang tampak nyata, di mana kegandrungan dan kehau-san kita pada kebenaran, itu menjadi bagian penting dalam hidup.

Memasuki tahun 2011, silakan buat rencana sebaik-baiknya. Te-tapi apa pun yang terjadi, ingat-lah: Tuhan memutuskannya bagi kita. Karena itu lapangkan dada-mu. Sediakan ruang kosong seluasnya dalam dirimu supaya Dia bisa bekerja di dalam hidupmu. Jangan marah dan kecewa ketika yang kau rancang berubah semua. Karena dalam perubahan ranca-nganmu pun, dalam kekece-waanmu itu pun, Tuhan akan mengubahnya dengan cara yag luar biasa. Jangan kekecewaan memenuhi seluruh benakmu se-hingga menutup ruang pengha-rapanmu kepada Tuhan, rasa ke-cewa menimbulkan kemarahan-kemarahan membuat engkau buta untuk melihat pertolongan Tuhan.

Lukas 10: 25-37, Ketika Cinta Kasih Cuma Basa-basi

Oleh : Pdt. Bigman Sirait

Adalah Gabriel Marcell, filsuf berkebangsaan Perancis (1889-1997), yang meng-gambarkan berbagai tingkatan relasi antarmanusia. Pertama, kita menganggap orang itu sebagai “seseorang”. Entah siapa dia, kita tidak tahu. Dia asing bagi kita. Demikian juga sebaliknya, kita asing bagi dia, sehingga ada semacam perasaan untuk saling menjaga jarak. Kita melihatnya tetapi tidak berkomunikasi.  Bertemu selintas, tidak meninggalkan kesan apa pun bagi masing-masing.
Yang kedua, Marcell mencoba menggambarkan apa yang disebut sebagai “mereka”. Mereka adalah orang-orang yang saya butuhkan karena sesuatu. Mereka merupakan pusat infor-masi bagi saya, menjadi obyek untuk bertanya, untuk menda-patkan hal-hal yang saya butuhkan. Mereka menjadi obyek dan saya menjadi subjek. Saya berkomunikasi dengan mereka tetapi tidak memberikan kesan. Saya kontak dengan mereka dalam bahasa tetapi tetap merasa asing karena tidak punya kesan yang panjang, tidak punya relasi yang jelas. Ada kontak dalam bahasa, tetapi tidak dalam rasa. Mereka lebih dari sekadar apa yang kita sebut “seseorang” tadi. Namun kelebihan itu hanya dalam bidang komunikasi bahasa, bukan dalam kesan dan rasa. Mereka hanya objek, dan saya subjek.
Yang ketiga: engkau. Ini lebih tinggi, ada keterbukaan antara aku dan dia. Artinya, saya siap untuk dikenal oleh dia, dan saya siap mengenal dia dengan segala risiko apa pun. Keterbukaan itu mem-buat kami bisa saling memahami. Dalam tingkatan ini ada komunikasi dua arah. Dia menjadikan hubungan saya dan dia menjadi hubungan yang disebut “kita”. Engkau dan aku sama-sama menikmati, sama-sama merasakan, sama-sama masuk di dalam pembicaraan di mana kita berdua terlibat dan di sanalah tercipta relasi sebagai sesama subjek. Jadi, saya subjek engkau subjek. Oleh karena itu, engkau akan menjadi pribadi yang dapat menjadi bagian hidupku.
Dalam hidup kita menemukan relasi-relasi seperti ini. Kita berpapasan setiap hari  dengan orang, tapi tidak mengenal dan tidak tahu aktivitasnya. Duduk sama-sama, tetapi asing, bahkan mungkin saling mencurigai. Itu relasi tahap pertama yang paling dasar dari relasi hidup manusia. Hanya basa-basi, tidak perduli apa yang dialami dan dirasakan dia. Betapa tragisnya suasana seperti ini. Patut kita renungkan, seperti apa kita berelasi. Jangan-jangan itu yang terjadi dalam kehidupan kita berjemaat. Orang di sekitar kita adalah orang yang tidak kita pedulikan. Hanya karena pola yang diciptakan dalam gereja maka orang bersalaman, say hello, sehingga pecahlah memang kekakuan.
Gereja jadi kaku karena orang-orang yang berbakti asing satu sama lain. Waktu gereja memecah suasana kaku dan menciptakan suasana untuk ada satu relasi, maka ada jabat tangan. Orang-orang itu saya butuhkan untuk mengung-kapkan rasa kasih saya: selamat siang, selamat pagi. Saya puas waktu bisa mengucapkan selamat siang, karena saya bisa mengekspre-sikan kasih saya. Bodoh amat dia bisa menikmati itu apa tidak. Saya puas karena saya orang kaya, punya jabatan, mau mengucapkan selamat pagi kepada orang miskin untuk mengekspresikan kasih saya. Bodoh amat orang itu merasakan-nya apa tidak. Di sana terjadi komunikasi dalam bahasa tetapi tidak dalam rasa. Batin tidak ada kontak.
  
Mudah mengatakan
Oleh karena itu pertanyaan, si ahli Taurat tentang siapakah sesamaku (Lukas 10: 25-37), sangat penting kita pikirkan, jangan-jangan kita tidak mengerti siapa sesama kita. Kita berpikir dia sudah menjadi sesama kita, padahal belum. Siapakah sesamaku? Sesamaku adalah orang yang bisa terbuka dengan aku, mau mengenalku dan aku mau mengenalnya. Sesamaku adalah orang yang bisa berkomunikasi dengan aku di dalam dua arah, sehingga kami menjadi kita, menjadi satu. Sesamaku adalah mereka yang kuperlakukan sebagai subjek dan memperlakukan aku sebagai subjek sehingga tidak ada yang memperalat dan diperalat.
Tidak mudah untuk bisa menempatkan orang di sekitar kita menjadi sesama. Perlu suatu kematangan, kejujuran, supaya kita bisa menghargai orang di sekitar kita. Ketika Tuhan mengatakan: “Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri”, maknanya amat dalam, mengagumkan, terlebih jika kita lihat dari apa yang kita pahami tentang relasi tadi. Gereja bisa dengan mudah mengatakannya. Pendeta mudah mengkhotbahkannya, tetapi sulit melakukannya. Kita sering memperlakukan orang lain sebagai orang yang kita tidak kenal. Kita sering menjadikan mereka sebagi objek untuk mencari informasi memuaskan perasan kita. Tetapi mampukah kita menghargai orang-orang di sekitar kita, yang kita berikan derajat yang sama dengan diri kita: subjek dan subjek, sehingga kita bisa menghargai dia sebagai orang yang sama dengan kita?
Siapakah sesama kita? Ijinkan saya memberikan tiga hal: Pertama, sesamaku adalah dia yang sama-sama denganku sebagai subjek. Posisi saya dan dia sama. Meski dia kaya dan saya miskin tidak jadi masalah. Pendeta dan jemaat, sama. Tidak berarti karena perbedaan jabatan atau posisi membuat relasi menjadi atas-bawah. Kedua, sesamaku adalah dia yang kuyakini sesuai dengan gambar dan rupa Allah (imagodei). Allah menciptakan saya menurut gambar dan rupa-Nya, maka orang di sekitarku  pasti juga diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya.  Kalau memang kita menganggap seluruh manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka kita harus memperlakukan mereka sebagai sesama subjek.  Yang ketiga, sesamaku itu adalah dia yang kukasihi, seperti aku mengasihi diriku sendiri. Karena saya sudah memperlakukan diri saya sebagai subjek dan dia subjek, maka saya akan coba merasakan di dalam hidup saya kalau saya melakukan sesuatu bagi dia. Berapa banyak orang merugikan orang lain, menindas orang lain untuk posisi-nya. Berapa orang berkompetisi dengan cara yang tidak etis. Kita menjadi egois, tidak lagi sempat memikirkan orang lain apalagi menyamakan dirinya seperti diri kita sendiri.
Dunia ini akan tenteram aman nyaman lepas dari segala pergolakan dan pertikaian yang  menghancurkan persatuan manusia kalau manusia bisa menghargai manusia yang lain sebagai sesamanya, dan kekristenan telah memberikan sumbangsih. Kiranya setiap orang Kristen yang punya anugerah, berkat, warisan firman Allah yang menyatakan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, bisa mewujudnyatakannya di dunia ini, khususnya kita di Indonesia ini. Di tengah kerusuhan dan kekacauan kita bisa menunjukkan hal itu.

Fil 2: 5-1,1Berani Melepas Hak, Itu Kekuasaan Sejati

Oleh : Pdt. Bigman Sirait

Pemikiran Kristus adalah suatu kekuatan yang sangat luar biasa, dan menjadi pola pikir satu-satunya di muka bumi, karena tidak pernah ada manusia berpikir seperti Kristus berpikir. Kristus berpikir dengan tidak mem-pertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah… (Fil 2: 5-11). Artinya, Dia rela melepaskan atribut itu. Istilahnya “mengo-songkan diri”. Sementara se-mua orang, di dalam pemikiran-nya mau berkuasa. Adam jatuh ke dalam dosa karena ingin sama dengan Allah. Lucifer (malaikat) jatuh menjadi iblis karena ingin sama dengan Allah. Tetapi apa yang Yesus lakukan? Dia memang sudah sama dengan Allah, tetapi Dia rela melepaskannya. Ini pola pikir yang berlawan sekali dengan pola pikir dunia, melawan arus jaman.
Sejujurnya kita juga tidak suka dengan cara berpikir seperti ini. Mana bisa? Kita bisa dilecehkan orang. Tetapi panggilan kita sebagai murid Yesus justru untuk berani melawan arus itu. Alkitab mempersaksikan kepada kita, malaikat jatuh karena ingin sama dengan Allah. Adam jatuh, karena ingin sama dengan Allah. Tetapi, kenapa Yesus ditinggikan? Kenapa Dia tidak jatuh? Karena Dia mau direndahkan. Waktu Dia mengambil sikap mau menjadi rendah, menjadi manusia, itu bukan sebuah paksaan. Dia rela dan siap melakukan itu. Dia bukan seorang raja di dunia yang menjadi hamba. Dia bukan raja yang menjadi gembel. Dia lebih dari sekadar itu, sebab Dia adalah Allah yang menjadi manusia. Raja dan gembel, bedanya antara bumi dengan langit. Tetapi Dia melintasi jauh daripada itu. Dia Allah yang menjadi manusia. Dan waktu menjadi manusia, Dia mengambil rupa seorang hamba, bukan raja. Kalau Dia menjadi manusia yang raja, itu juga rendah, karena toh Dia raja kekekalan.

Mestinya ini menjadi satu titik penting dalam pola pemikiran kita, membuat kita tidak melulu berorientasi kepada diri yang menciptakan berbagai kesera-kahan dan tidak mau mengalah, yang kemudian menciptakan kesulitan dan pertikaian. Kegai-rahan akan kekuasaan mestinya jangan banyak menguasai pikiran kita, sementara kita mengaku Kristen. Nah, supaya kekristenan kita aktual, bisa dipertang-gungjawabkan, dinikmati banyak orang, dan banyak orang bisa belajar, maka kita harus berani juga seperti Kristus: berani merendahkan diri.

Menyombongkan diri itu benih-benih keinginan berkua-sa. Dan keinginan berkuasa bukan hanya ada pada orang kaya saja, orang miskin juga. Itu juga tidak monopoli orang dewasa, anak-anak pun ingin berkuasa. Semua orang ingin tampak tinggi. Semua orang ingin lebih baik dari yang lain. Semua orang ingin tampak lebih luar biasa dari yang lain. Nah, ketika kita menjadi manusia yang bukan biasa-biasa saja, karena menjadi manusia yang dibalikkan citranya, menjadi seperti apa yang Allah kehendaki, yang sudah dikembalikan kepada hekaket gambar dan rupa Allah itu, maka kita akan menjadi manusia yang berbeda dengan jaman. Sehingga kita bukan manusia yang mau menggapai ketinggian, di mana kita menjadi pusat daripada pujian, tetapi justru mengambil suatu sikap yang sangat luar biasa, merendah, sehingga tidak menjadi pusat perhatian.

Mendemonstrasikan
Kita juga tidak sekadar merendahkan diri, tetapi harus berani melepas hak, memaafkan untuk menciptakan perdamaian. Yesus melepas hak-Nya, kemu-dian menjadi manusia, tetapi Dia menegur keras orang-orang berdosa, menelanjangi dosa. Tetapi Dia selalu membuka pintu pengampunan bagi orang yang percaya. Betapa ajaib dan benar pikiran Kristus itu. Justru ke-kuatan-Nya ada di dalam kerelaan untuk melepaskan kekuasaan. Dan kekuasaan sejati itu adalah kekuasaan yang tidak kita rengkuh untuk diri sendiri. Karena kekuasaan yang sejati itu adalah keberanian melepas diri, keberanian melepas hak.

Kristus tidak hanya mengatakan atau mengajarkan, tetapi sudah mendemonstrasikan bagaimana hidup yang bertanggung jawab itu. Karena itu penting bagi kita untuk melakukan apa yang dikehendaki Tuhan, sehingga ada kepuasan nilai karena mempunyai keberanian melepas hak. Hidup hanya bisa didapatkan, dan hanya bisa menjadi pengharapan, menjadi gairah yang menguatkan, kalau kita betul-betul bisa melepas seluruh ambisi, dan menggantinya dengan yang sesuai kehendak Tuhan.

Nah, perlawan arus dari semangat jaman, kita terobos seperti Kristus berpikir, sehingga kita harus menaruh pikiran atau perasaan yang terdapat juga di dalam Yesus, yang rela melepas semuanya untuk menggapai hal yang hina yang tidak terba-yangkan oleh manusia, bukan untuk Dia dan kepuasan-Nya, tetapi untuk menyelamatkan manusia. Kalau kita mampu berpikir ke bawah, mampu memperhatikan ke bawah, berani melepas hak, itulah kemenangan sejati, di situlah ada kemerdekaan dan kebebasan.

Oleh karena itu, pengharapan supaya Tuhan dimuliakan hanya ada kalau kita mau memainkan peran kita berpikir seperti Yesus berpikir. Kita turun ke bawah. Ketika turun ke bawah, biarlah di sana ada pengharapan kita karena Tuhan akan meninggi-kan kita dengan caranya yang luar biasa. Sehingga kita bisa mencatat berbagai peluang, ke-menangan yang membuat kita luar biasa di tengah kehidupan. Sehingga kita tidak saja menca-tat tetapi juga mencipta perbagai perubahan di mana Tuhan dimuliakan.
Kita berpikir seperti Kristus membuat kita mampu menuruni lembah, di mana harga diri kita tercabik-cabik tetapi kita menemukan kebenaran. Ini tak mudah, tetapi untuk itulah Kristus mati bagi kita, supaya kita mampu mengikut Dia. Tetapi alangkah indahnya, dan amat sangat luar biasa kalau kita mencapainya maka tahulah kita bahwa Yesus tidak pernah salah meminta pada kita. Yesus tidak pernah salah memerintahkan apa yang harus kita kerjakan. Yesus tidak pernah salah. Dia melakukan apa yang menjadi tuntutan dan kehendak Bapa.

Begitu pula kita, melakukan tuntutan-tuntunan yang Kristus tetapkan supaya kita seperti Kristus, berpikir seperti Dia berpikir. Itulah berpikir yang benar. Sehingga dengan ber-pikiran seperti Kristus kita bisa menyongsong, membangun kerendahan hati, menjadi titik kemenangan

1 Kor 13: 8-13, Iman yang Kekanak-kanakan

Oleh : Pdt. Bigman Sirait

FIRMAN Tuhan dalam 1 Kor 13: 8-13, menolong kita untuk memahami kemam-puan berpikir manusia secara rohani: masih kanak-kanak atau sudah dewasa. Orang yang berpikir kanak-kanak selalu memerlukan simbol (tanda). Bagi kanak-kanak, apakah dirinya disayang papa atau mama, salah satu indikasinya adalah apakah papa-mama suka beli kue? Karena tingkat pertumbuhan rohaninya belum ada maka dia memerlukan simbol yang konkrit dan harus ada wujudnya, barulah dia memahami itu. Jadi berpikir kanak-kanak itu membuat kita terjebak pada simbol-simbol, atau nilai-nilai yang bisa menyenangkan kita.
Tetapi bagi orang yang sudah tergolong dewasa—anak SMA misalnya—kue atau mainan yang diberikan orang tuanya tidak sama dengan sayang. Bagi dia, papa sayang atau tidak, itu tergantung pada apakah papa punya waktu dengan dia, ngobrol enggak dengan dia? Dia tidak bisa disuap lagi dengan roti. Dia mulai memahami ekspresi atau pema-haman kasih sayang itu sudah lebih berwujud. Nah, di sinilah Paulus berkata: “Kasih tidak berkesu-dahan, tetapi yang lain itu, nubuat, bahasa roh, pengetahuan, itu semua akan lenyap”. Jadi kita harus belajar menggapai yang paling tinggi, yaitu kasih yang bersifat abadi itu. Itulah kedewasaan kita untuk menggapai itu. Maka orang Kristen kalau makin dewasa makin tampak cinta kasihnya, makin dewasa makin utuh kasihnya.

Orang dewasa, meski katanya sudah terima Tuhan, juga bisa berpikir kanak-kanak. Dia hanya bisa memahami kasih Kristus itu bila ada kesembuhan, mukjizat, dapat uang, dapat pekerjaan, dan sebagainya. Itu yang dipahaminya. Sulit bagi dia memahami kasih Kristus yang sudah menyelamatkan itu, apalagi misalnya dia miskin, sakit. Tetapi orang dewasa dalam iman, mau sakit kek, mau kaya kek, sehat, miskin, baginya enggak ada masalah, karena dia semakin dewasa memahami kasih Tuhan.

Jadi, kasih Tuhan itu tidak identik dengan “punya uang atau tidak punya uang”. Kasih Tuhan itu identik dengan pemeliharaan hidup, di mana kita semakin hari semakin mengerti kehendak Tuhan. Itu sebab rasul-rasul itu lain dari orang kebanyakan. Dulu Petrus itu kekanak-kanakan sekali, maunya semua serba OK, harus menang. Dan kemenangan itu dia pahami sebagai “musuhnya harus kalah”. Itu sebab, dalam jiwa kekanak-kanakan itu Petrus memenggal telinga hamba imam sampai putus, tetapi Yesus memasangnya kembali. Tetapi kemudian kita melihat bagaimana kedewasaan iman Petrus berkembang secara luar biasa, sehingga waktu diancam, dia tidak bertarung. Dia hanya berkata, “Hei imam-imam lebih baik aku taat kepada Allah daripada kalian”. Sesudah dia betul-betul masuk dalam kedewasaan iman, dia tidak lagi memenggal telinga orang. Hidupnya susah, dia tidak ribut, tetapi dia nikmati. Keluar masuk penjara dia tidak pusing, justru dia nikmati. Rasul-rasul berkata: “Kami merasa terhormat, berbahagia karena kami boleh menderita untuk Kristus.

Perubahan cara berpikir dari kanak-kanak ke dewasa itu memberikan kebijaksanaan dan pengertian yang hebat bagi kita. Di dalam proses bertumbuh seperti itulah, sebagai orang yang sudah percaya dan menerima Kristus, kita melihat bagaimana kualifikasi pemikiran kita. Dan berpikir itu adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti selama hidup. Begitulah kita sebagai orang percaya. Sehingga proses pembelajaran itu berjalan terus. Maka perlu kesetiaan, kejujuran, kesungguhan dalam menyikapi semuanya.

Demonstrasikan kasih
Jadi, berpikir kanak-kanak itu harus ditinggalkan. Kita tidak bisa terus-menerus di situ, berpikir secara simbol-simbol, yang jika engkau sakit berdoa, tidak sembuh lalu kecewa, ngambek sama Tuhan. Itu kanak-kanak. Minta kerja tidak dapat lalu malas ke gereja, malas berdoa. Itu kanak-kanak. Minta tanda ini-itu, itu kanak-kanak. Kalau kau sudah dewasa, masak sih tidak percaya Tuhan mengasihi? Kalau kau masih minta tanda, artinya engkau masih ragu. Kamu belum kenal baik dengan Tuhan. Kalau sudah kenal baik, mana mungkin kamu lakukan itu? Kita tidak mengatakan minta tanda itu salah, tetapi itu kanak-kanak. Masak saudara mau kanak-kanak terus? Saudara kan ingin dewasa, bertumbuhlah. Orang yang semakin dewasa sudah berorientasi kepada kasih. Itu yang mereka pikirkan. Pergumulan mereka, bagaimana mendemonstrasikan kasih itu, sesuatu yang bersifat abadi dan tidak habis-habis itu.

Dan orang semakin dewasa semakin menyadari dirinya, kenal diri, tahu keterbatasan dirinya. Dia cukup mengerti kalau sudah dikasih tahu. Tidak seperti anak-anak yang diombang-ambingkan oleh berbagai angin pengajaran. Karena anak-anak itu bisa ditipu kiri-kanan, semua diikuti padahal itu bertolak belakang. Gelap mata. Itu kekanak-kanakan. Orang seperti itu tidak bergaul akrab dengan firman Tuhan. Kalau  bergaul akrab dengan firman, kita pasti menunjukkan sikap jelas, yang sesuai dengan Alkitab, tidak membeo, tidak sekadar ikut-ikutan, tetapi menjadi orang Kristen yang punya sikap jelas, dewasa, mampu menyikapi perbedaan dengan enteng tanpa harus ribut.

Kalau berpikir soal bisnis orang bisa mantap. Tetapi kalau urusan gereja orang bisa ribut. Maka banyak orang Kristen menjadi kecewa dengan gereja. Di gereja sering ribut, nilep uang juga. Bisa jadi di gereja ada orang yang masih kanak-kanak, yang masih suka iseng. Ia harus diingatkan. Coba lihat diri dan sekeliling. Mungkin banyak di antara kita yang berpikir seperti kanak-kanak, mengakibatkan munculnya pertikaian/keributan suami-istri, orang tua-anak, atasan-bawahan. Jam atau rutinitas ke gereja sangat tinggi, tetapi tidak ada perubahan yang signifikan terhadap perilaku dan sikap hidup. Jelas, itu karena masih kanak-kanak.

Jadi, analisis atas diri sendiri membuat kita bisa menemukan apakah kita sudah dewasa atau tidak, dalam konteks sudah menjadi orang Kristen yang menerima Kristus. Tetapi tidak selesai sampai di  situ, karena pertumbuhan itu tidak akan pernah berhenti dan terus memberikan pencerahan, pembaruan, pengalaman-pengalaman unik bersama dengan Tuhan, sehingga kita semakin tangguh, semakin sadar diri, kenal diri, tahu kemampuan. Oleh karena itu temukan diri dan jadilah dewasa dalam iman. Amin