Sabtu, 09 Oktober 2010

Efesus 5: 22 – 23

Ciri Keluarga Kristen: Tidak saling menuntut 
Owa Jawa (hylobates moloch) adalah sejenis kera kecil (lesser apes) yang hidup di Pulau Jawa, meskipun banyak penduduk di Pulau Jawa yang tidak mengetahui keberadaan satwa yang sudah di ambang kepunahan ini. Owa Jawa, sebagaimana beberapa jenis owa lain, biasanya hidup berpasangan dan monogami. Untuk mendapatkan pasangan yang cocok, Owa Jawa kadang memerlukan waktu yang panjang. Namun setelah mendapatkannya, pasangan ini akan bertahan seumur hidup. Benar-benar tak tergantikan. Jika pasangannya mati, owa tersebut biasanya tidak akan mencari pasangan lagi. Sampai mati.

Pengagungan cinta kasih manusia tentu saja dan semestinya melebihi cinta kasih satwa. Walaupun kini tengah marak fenomena perpisahan dalam hubungan suami-istri, tetapi yang Tuhan kehendaki adalah hubungan yang harmonis layaknya Tuhan dengan jemaat-Nya. Efesus 5 dengan jelas menggambarkan hubungan ini. Ada cinta kasih dan kesetiaan yang dibutuhkan dalam hubungan antara suami dan istri—yakni seperti Kristus dengan jemaat-Nya. Dan, hubungan yang dipersatukan oleh Allah harus dipelihara dengan baik sebagai wujud ungkapan syukur terhadap Tuhan, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Markus 10:9) Bahkan kematian pun seyogianya hanya memisahkan manusia secara fisik.

Akan tetapi realita saat ini justru sebaliknya. Maraknya perceraian kebanyakan karena ketidakpuasaan dalam keluarga. Bercermin dari hal itu, ada hal yang senantiasa harus diperhatikan bagi suami dan istri dalam membina cinta kasih dalam keluarga. Cinta kasih itu harus dinyatakan dengan tidak memiliki sikap menuntut dan dituntut. Jika diperhatikan kembali, Efesus 5: 22-23 nampaknya seperti sebuah tuntutan bagi istri kepada suami. Hal itu terlihat dari kata “tunduklah”. Isteri harus tunduk pada suami, seperti halnya seorang pegawai kepada majikannya. Begitupun dengan isteri yang menuntut agar suami mengasihinya seperti yang tercatat dalam ayat 25. Istri menuntut suami agar dikasihi dan suami menuntut istri agar tunduk kepadanya. Masing-masing melihat “bagian” orang lain.

Maka jangan heran apabila banyak istri atau suami yang saling menuntut hak dalam kehidupan keluarganya. Oleh karena itu, perlu pengertian dan kebersamaan dalam menelaah perannya masing-masing. Bukankah seharusnya cinta sejati muncul dengan tanpa menuntut dan tanpa adanya paksaan?? Seperti kasih Kristus kepada manusia (baca: jemaat) yang memberi diri tanpa paksaan. Hanya karena cinta-Nya pada kita.

Bercermin dari realitas yang ada. Maka ada dua hal yang dapat direnungkan bersama yaitu:

1. Apakah kita sudah mengasihi pasangan kita layaknya Kristus mengasihi jemaat? Atau, mungkin kita masih harus belajar dari kera kecil yang hampir punah di beberapa kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa?

2. Cinta sejati dalam keluarga muncul bukan dari keegoisan pribadi, tetapi dari kesadaran untuk memberi. Karena kita sudah menerimanya dari Kristus maka kita pun harus memberikannya kepada setiap anggota keluarga (secara umum kepada semua orang).
 

1 komentar:

  1. kasih yang ada yaitu kasih agape dalam hal ini seoraong suami harus benar-benar mengasihi secara total agar ia dapat menjadi sebuah teladan yang baik dalam keluargga, totalitas dalam mengasihi meneladani kasih Kristus kepada Jemaat.

    BalasHapus