Sabtu, 09 Oktober 2010

Kaum Terpinggirkan

oleh : Pdt. Bigman Sirait

BERITA Natal disampaikan malaikat kepada gembala di adang. Ini sangat mena-rik, sebab dalam tradisi Yahudi, gembala disebut sebagai orang berdosa, karena dinilai sebagai pekerja yang tidak jujur. Ada pun orang berdosa lain dalam tradisi Yahudi antara lain: pemungut cukai. Mereka disebut berdosa ka-rena memungut cukai atau pajak dari warga Israel, saudara sendiri, untuk diberikan kepada orang Romawi sebagai penguasa waktu itu. Pemungut cukai dianggap pengkhianat. Pendosa ketiga adalah penyamak kulit dan seje-nisnya karena pekerjaan mereka dianggap hina dan busuk. Orang Samaria juga disebut berdosa, karena dianggap paling bawah menurut ukuran orang Yahudi. Samaria adalah bagian dari Israel yang dianggap murtad atau meninggalkan Tuhan.
Orang berdosa dianggap tidak berhak atas hal-hal yang indah, dan tidak  mungkin mendapatkan sesuatu kesempatan sorgawi. Na-mun berita tentang Yesus yang lahir itu, kedatangan Sang Mesias, Juru Selamat, justru diberitakan kepada para gembala. Menurut istilah kita, ini jelas “nyeleneh”. Sebab bukankah seharusnya be-rita mahapenting itu disampaikan kepada para imam? Karena imam adalah orang-orang hebat, ekse-kutif luar biasa yang punya hak membuat keputusan. Imamlah yang menentukan seseorang ber-dosa atau tidak, atau sebaliknya menyatakan sudah diampuni, dan menentukan ke mana arah perjala-nan sinagoga. Sebagai pemuka masyarakat yang paling bergengsi, suci, seharusnya para imamlah yang pertama dan berhak mende-ngar berita bahwa Allah telah datang ke dunia dan menjadi sama dengan manusia. Tetapi malaikat justru menyampaikan berita itu  kepada gembala yang notabene disebut orang berdosa. 
Yang menarik lagi, para gembala tidak sedang berada di sinagoga. Mereka sedang di padang gurun, menggembalakan domba. Artinya, kondisi mereka pasti dekil, tidak menyenangkan. Tetapi justru di sanalah Tuhan datang dan menya-takan diri. Sering kali secara simbolik disebut bahwa Bait Allah adalah tempat di mana Allah datang dan menyatakan diri. Tetapi malam  itu Allah bukan datang ke Bait Allah, karena Bait Allah rupa-rupanya sudah menjadi tempat yang gelap karena dikuasai orang-orang yang ingin mengolah dan mengatur semuanya. Bait Allah ada tanpa Allah bait di dalamnya. Itu tragedi. Kenapa bisa begitu? Karena ter-nyata Bait Allah sudah “dikudeta”, dikuasai hawa nafsu kemanusiaan, struktur agama yang sangat kacau yang mengambil keuntungan bagi diri, bukan lagi kemuliaan bagi Allah.
Oleh karena itu Natal mempunyai keberpihakan yang sangat luar biasa terhadap orang-orang yang dipinggirkan. Natal ada bersama orang-orang yang rendah hati, rendah strata sosial dan ekonomi. Natal menjangkau orang-orang tersingkir, yang dianggap tidak bernilai. Keberpihakan Natal bukan kepada sinagoge suci, atau institusi yang punya struktur tinggi di dalam keagamaan. Keberpihakan itu ditujukan kepada orang-orang di bawah yang tampak lemah, hina dan susah. Ke sanalah Natal itu menjangkau. 
Jadi, siapa pun Anda jangan pernah berpikir bahwa Natal tidak berpihak kepada Anda hanya karena tidak mampu membuat pesta Natal. Jangan mengira Anda tidak berhak atas Natal hanya karena tidak bisa menyuguhkan hidangan. Bukan begitu. Natal adalah soal Allah berkata-kata kepada umat-Nya. Natal adalah ketika Allah hadir di dalam kehidupan umat-Nya.

Jangan takut
Malam itu malaikat berkata: “Jangan takut, sebab sesungguh-nya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar, untuk seluruh bangsa…” Berita kesukaan besar untuk seluruh bangsa, tentunya gembala tidak representatif. Tetapi sejarah mencatat merekalah yang mendengarkan. Kesukaan bagi seluruh bangsa disampaikan kepada orang-orang biasa itu. Alangkah indahnya karena para gembala itu dijadikan oleh para malaikat sebagai sumber pertama yang mengetahui sebuah berita yang dinantikan oleh seluruh bangsa. Berita Natal bukan disampaikan kepada orang yang menempatkan diri tinggi tetapi justru kepada orang yang dipilih Allah. Natal mendatangi orang-orang yang dikasihi dan dicintai-Nya,  yang diperkenan-Nya menurut ukuran-Nya, bukan ukuran kita. 
Keberpihakan Natal kepada sua-sana hati yang jujur, yang dipinggir-kan, harus menjadi semangat untuk kita memikirkan bahwa Natal datang dan menjangkau setiap orang di segala lapisan. Tetapi yang menjadi penting adalah sikap hati yang sung-guh-sungguh. Gembala itu datang dan melihat Bayi Kudus dan mence-ritakan apa yang mereka telah dengar dan lihat itu dengan segala ketulusan. Sepulang dari situ mereka bersorak-sorai: “Sungguh Anak Allah itu sudah datang ke dunia”. Semua sesuai dengan apa yang disampaikan malaikat kepada mereka.
Oleh karena itu, Natal pertama itu telah menceritakan kepada kita bagaimana sebetulnya sikap hati atau suasana hati atau sikap diri atau kejujuran berpikir di dalam diri kita itu menjadi modal atau bekal pertama yang paling dibutuhkan saat Natal. Bukan bahan baku untuk membuat kue, atau hiasan. Itu menjadi pelengkap penderita yang boleh ada  atau tidak ada. Tetapi menjadi lebih penting ada-lah mensyukuri, atau menyambut Natal itu dengan sikap hati yang sungguh-sungguh. 
Natal bukan tergantung tempat yang luar biasa dengan segala dekorasi yang indah. Mau di mana pun kita berada, di gereja yang megahkah atau sederhanakah ataukah sendirian? Di malam hari atau di siang hari, Natal tidak ter-ganggu selama hati telah siap menjadi tempat di mana berita Natal itu dikumandangkan. Dan hati kita tahu bersyukur dan ber-sorak-sorai. Oleh karena itu, setiap Natal mari kita melihat kepada batin kita, menelusuri jauh ke dalam, berdialog dengan batin apakah kita seperti apa yang dikehendaki-Nya, sehingga hidup kita menyenangkan bagi-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar